Labyrinth pajang

Posted by ~alof in ,

Hadir di tengah padang lalang penuh duri
aku makin menggaungkan tanya:

"Harus sampai sedemikian pedihnyakah suratan hadirku?"

Sedang aku tahu tak seorang pun mendengar.

— 24 Desember 1981

 

Surat buat Andrei Kamarov di Gorky

Posted by ~alof in ,

Kamerad,
anda tak usah cemas.
Masih banyak orang yang berdiri dalam garis langkahmu.
(Termasuk saya.)

— 27 Nopember 1981

 

Rhapsody perjuangan

Posted by ~alof in ,

Matahari merah yang selalu akrab membayang
kini jadi kian dekat dengan jiwa.
Kepalaku yang penuh bara dan dendam
kian menggelegak dalam rongga ajalnya.
Nadi menggumpal
tersumbat lara.

Seorang lelaki yang tersingkir
tersungkur di jejak seutas tali melingkar
yang teruntai di tiang bersilang.
Sambil pejamkan mata,
tersenyum di kulum
dirasuki cericit burung rajawali yang belum lagi dewasa:

"Perjuangan terakhir adalah menyisi dari sebuah lintasan masa".

— 10 Nopember 1981

 

Sepercik ode #2

Posted by ~alof in ,

(Bung Karno)

Rapatkan genggaman kita
dan mari kita ikrarkan perjalanan bangsa
untuk dua-puluh-lima-ribu tahun mendatang.

Kharisma tak pudar.
Satu citra negeri merdeka
dengan setitik bercak lumrah.

Rapatkan gerakan kita
dan mari kita rekatkan lembaran-lembaran kisah
untuk hari-hari penghabisan.

— 28 Oktober 1981

 

Sepercik ode #1

Posted by ~alof in ,

(Chairil Anwar)

Kau,
yang penuh pesona dalam kata,
yang penuh daya dalam gairah:

binatang jalang terluka
yang meradang dalam seribu tahun.

Kau,
yang terampas dalam nestapa,
yang putus dalam larat:

terbaring antara kelam sampai luruh
menderai-derai sampai fajar.

Kau,
yang hidup kembali menunda kekalahan:

catatan jauh di pulau.

— 28 Oktober 1981

 

Vendetta

Posted by ~alof in ,

Ketika kutarik pelatuk senapan ini
sinar dendam di matamu pun padam.

— 10 September 1981

 

Bila semua akan berakhir

Posted by ~alof in ,

(balada Ivan Jupiter dan Astrid)

Langit di atas memang bukan milik kita
dan kita di sini tak lagi berhak punya nama
karena semuanya sudah tiada,
hampa dan sia-sia.
Dan berakhirlah segalanya.

— 8 September 1981

 

Nyanyian serigala

Posted by ~alof in ,

(sedetik renungan)

Hidup ini bukanlah cuma hari ini
karena kita punya masa lalu yang penuh geligi dan darah
dan juga karena kita punya masa datang yang teramat sulit diterka.

Hari ini bukanlah cuma hidup ini
lantaran hari ini cuma sesaat singgah
dan pekerjaan belum lagi selesai
: ditinggal mati.

Hidup pada hari ini
adalah perjuangan mempertahankan nyawa
dan menjual semahal-mahalnya.

Hari pada hidup ini
hanya sebuah titik tambahan pada riwayat.

— 26 Agustus 1981

 

Musnahnya satu nama

Posted by ~alof in ,

(balada pendurhaka)

Melompong.
Batin ini kosong lagi
lantaran sudah terlalu lama ditinggal pergi oleh nurani
sedang badan yang begini kotor tak mungkin lagi bisa bertahan.
Dan terjadilah segala yang terjadi buatnya.
Lantas semuanya pun ikut kosong
tanpa isi dan arti.
Melompong.

— 13 Agustus 1981

 

Menanti makna

Posted by ~alof in ,

(tidurlah dengan tenang, jiwaku...)

Malam ini
sambil duduk minum segelas anggur dan mengunyah sepotong roti
kucerna seuntaian nada-nada manis
lewat sebuah gramapon tua.

— 13 Agustus 1981

 

Jiwaku

Posted by ~alof in ,

(sebuah nyanyi duka)

Adakah permukaan telaga ini akan tetap tenang bila badai tiba
ataukah dia akan menjadi ombak dahsyat yang menerpa ke sini?

Mustinya jangan kau pojokkan aku
karena jiwaku bukanlah jiwa yang tahan.
Dia kini hanya selembar perasaan yang terlalu peka
dan yang tidak lagi berakar kokoh
hingga tidak mampu menentang badai.
Jiwaku yang kini mudah goyah
bukanlah jiwaku yang lama, jiwa pemberani yang tabah,
lantaran kedua kakiku sudah tidak sanggup menopang.
Dan mustinya jangan kau pojokkan aku
karena mustinya aku tidak usah pernah hadir di sini.

— 11 Agustus 1981

 

Hemorrhage

Posted by ~alof in ,

(lagu yang kerap datang dalam malam)

Peluhku bukan lagi peluh
melainkan tetes darah di sekujur tubuh
yang memerahkan diriku yang kepayahan melangkah.
Dalam hari-hariku yang lalu
pernah kunyanyikan sebuah stanza:

"Ya, Tuhan,
betapa malang jadi korban".

Dan kugali lubang kuburku sendiri
buat hari esok yang tak pernah terduga.

— 11 Agustus 1981

 

caroline

Posted by ~alof in

Memori satu malam dengan satu pesonanya

(utopia yang hanya bisa jadi khayalan pada Caroline)

Lewat dalam hari-hariku
sejumput kenangan yang membekas di mata
saat Rue de Paris sudah sepi di tengah malam
sedang kafetaria yang terang dan hangat
masih menanti dengan secangkir kopi
buat teman menikmati lampu-lampu jalanan warna-warni.

Seorang gadis yang tampaknya berduka dan tidak peduli
duduk di sudut
menikmati santapan malamnya.
Sendiri dalam kesendiriannya
seperti hanyut dalam alun maya yang tidak mudah diterka.
Bola matanya yang hijau bening
seperti telaga dena hampa tanpa cahaya
namun tak bisa mengurangi kekaguman
yang selalu hadir di sisiku dengan karib
saat menghadapi kodrat alam penuh daya pesona.
Dan tatkala rambutnya yang tergerai disibakkan
sementara matanya sayu menatapku tajam,
kubisikkan pada angin dingin yang tiba-tiba menembus jendela:

"Gadis, bolehkah aku mencintaimu?"

— 8 Juni 1981


Ketika ada

Lari dari rumah memang tak baik
apalagi buat anak gadis seusiamu
yang masih terlalu muda buat mengecap getirnya hidup
dan masih terlampau hijau
untuk memahami alur pusaran hari di sekelilingmu
yang kerap dengan amat kuat
mencengkeram orang-orang yang tak mengerti.

— 30 Juli 1981

 

diana

Posted by ~alof in

Thames of London

Aha! Aku tak lupa,
esok adalah hari awal perjalananmu.

— 28 Juli 1981


The great procession

(bagi pewaris sebuah dinasti)

Tujuh angin berlabuh di sini
di antara gemuruh roda kereta kencana
dan suri kuda-kuda putih
yang dipacu di jalan dengan permadani merah.
Kembang dan kibar bendera membikin kota jadi semerbak
hingga orang-orang menambatkan kapalnya di muara
agar bisa turut nyalakan lilin di sepanjang jalan.
Semua terpana pada ketika yang pertama
saat awan-awan turun ke kubah menara.

Tujuh awan berarak di sini
ketika semua orang melesat tinggalkan dermaga
bersama-sama melangkah dalam irama yang penuh ritme
menyela suara nafiri dan genderang.
Kuda-kuda perkasa menderap
dengan congklangnya yang gagah
menghentak-hentak pada selembar halaman sejarah raya
di penghujung bulan ke tujuh dalam masehi.

Tujuh angin berkisaran di sini
dan terjebak dalam sebuah jentera tak putus
mengelilingi menara kota
dan kian cepat memburu
seiring bertambahnya orang-orang yang terheran.
(Betapa menakjubkan...)

Tujuh angin berlabuh di sini
di antara patung para santo
dan orang-orang satu per satu masuk katedral
dengan khidmat.

— 29 Juli 1981

 

Grand canyon of Colorado

Posted by ~alof in ,

Jurang di sini menganga mengoyak bumi
dan sebuah sungai darah merangkak di bawah.
Ada sebatang pohon oak di tebing
dan sebuah sarang elang bergayut di pucuknya.

— 28 Juli 1981

 

Ketika berjalan bersisian dalam galaunya kota
kamu tertawa ketika kukisahkan padamu
tentang tewasnya Kurt Steiner,
seorang Fallschirmjager punya harkat,
yang sangat kukenal.

— 28 Juli 1981

 

St. Peter of Rome

Posted by ~alof in ,

Tepekur di kaki basilika
aku jadi terpesona melihat kuda-kuda di padang rumput.
Sedang gemercik air yang menyelinap di sela kaki
seperti hendak mengikis sebuah masa lalu yang terserak di dada.
Dan saat seekor gagak hitam berkaok terbang
sekerat jiwaku tanggal.

— 28 Juli 1981

 

Sesaat lewat di bawah terowongan pendek
aku merasa seperti menembus sebuah lorong panjang
yang sejak dulu-dulu tak mampu kulampaui.

Secercah nyala di ujung jalan
seakan mampu menerangi arca-arca kota yang tegak menegar.

Sesaat berjalan di bawah terowongan pendek
aku serasa dicekam sepi yang amat sangat.
Betapa sakit.

— 28 Juli 1981

 

(selamat datang di rumah)

Sebuah karangan mawar merah tiba di kamarku pagi ini.
Ah, siapa pun yang mengirimnya
kuharap jangan kecewa
karena tak akan sempat kuhirup puas wanginya
lantaran malam nanti aku sudah terbaring manis
dengan jas hitam dalam keranda hitam.

— 28 Juli 1981

 

rhea

Posted by ~alof in

Impian seorang pemberontak

(serenada jingga yang dinyanyikan buat Rhea)

Ingin kutuliskan buatmu
satu puisi yang sanggup uraikan segenap pesonamu.
Namun terlalu sering aku merasa enggan membayangkanmu
sedang tangan ini tak lagi mampu goreskan pena
lantaran terlalu sering terjerat dalam terali.

— 20 Juli 1981

 

ira

Posted by ~alof in

Oxygenium II Sulphate

(balasan atas surat undangan Ira)

Percik api. Percik anggur.

Seorang lelaki menulis surat dengan jari gemetar
sedang jiwanya makin cair:

"Ira,
kalaupun aku bisa datang ke pesta pernikahanmu
aku akan datang sambil memanggul peti mati
dan menenggak secawan racun."

Percik api. Percik anggur.
Larutlah dalam nadi.

— 17 Juli 1981

 

Oxygenium I Carbon

Posted by ~alof in ,

Wajah itu demikian tingginya.
Betapa sakitnya terpelanting dari puncaknya.

— 16 Juli 1981

 

The black hole

Posted by ~alof in ,

Ada sebuah lubang menganga di cakrawala
dan kita tertawa.

— 14 Juli 1981

 

Ketika harpa selesai dimainkan

Posted by ~alof in ,

Sekali aku ada menginginkan datangnya satu masa
saat pelangi muncul dari balik bukit yang dapat kulihat lewat jendela kamarku
setelah hujan yang membawa lagu bayang reda.
Dan pohonan yang selalu hijau jadi tonggak langkah ke muka
memacak buramnya kerinduanku padamu.
Namun penantianku serasa jadi amat panjang. Teramat panjang.
Dan seperti akan sia-sia
karena hari tak kunjung petang.
Burung-burung gagak tak kunjung pulang ke sarangnya
meski hariku sudah dipatuknya habis
sementara pelangi tak juga hadir di hadapan.

Kala pohon tua yang pernah membelit kemerdekaanku roboh
maka gerak langkahku terhentak ke jalan
menyusur pematang-pematang khayal tentangmu.
Namun gemercik air di bawah rumpun pandan mematuk hasratku
dan semilirnya angin menyelusup daun bambu
membuyarkan darahku yang berkumpul satu
lalu memacunya ke tumit yang tambah nyeri.
Kudongakkan kepala, kutentang matahari,
sambil kugumamkan kebatuan jiwa
: pelangi akan hadir di atas nisanku.

— 17 Mei 1981

 

miranda

Posted by ~alof in

Children of dream
(song for Miranda)

Saat matahari tua kembali berlabuh di cakrawala
dan laut biru jadi merah emas berkilat
maka burung-burung camar yang lelah kembali pulang
ke relung kegelapannya
yang tersangkut di tengah lingkup ujung senja kefanaan.
Camar-camar yang perkasa telah kembali sebelum badai tiba.
Berlindung di balik mega kerinduan yang berjela-jela sampai ke laut
sementara gelombang makin ganas mengombang-ambing hidup
dan membentur-benturkannya ke karang tajam.

Anak-anak mimpi kembali terjaga di balik kemudi
dan kaki-kaki mereka menjuntai ke air
menyepak-nyepak
dan menyesali nasib tak menentu.
Kau pun lalu bangkit
sambil memanggul kecapi harapanmu
agar dapat segera berlabuh di satu dermaga kenyataan yang baru.

Camar laut yang cantik,
tak dapat kubayangkan beratnya nada getirmu
yang pernah kau dendangkan dalam lagu
yang dihanyutkan angin dan riak laut padaku:

"Kenapa musti kutanggungkan ini
di atas hati yang amat rapuh?
Sedang pesisir persinggahan belum juga tampak di titik api".

Camar laut yang cantik,
jangan kau baringkan semangat di pasir.
Nyalakan! Nyalakan di sini, di dada!
Lalu katakan pada dunia
bahwa camar laut yang cantik akan segera kembali.

— 30 Mei 1981

 

ninna

Posted by ~alof in

Fragmen IV

(kerinduan pada Ninna yang tak pernah terucapkan)

Perjalanan kita kali ini rasanya amat berat buatku
karena kau ada di sampingku.
Berulangkali kucuri pandang
menoleh wajahmu yang selalu membuat jiwaku menggelepar tak putus
sementara kau begitu terpana menatap gunung biru di muka
tanpa menyadari keresahan yang turun mengabut.

O, sungguh,
tak dapat kutahankan detak jantung bergumam:
Kenapa kau musti hadir di selembar titianku?

Pekat udara dalam hirup.
Mustikah aku berhenti
dan mulai bertanya pada diri?
(Sedang aku di sini tidak punya kata tersisa.)

O, sungguh,
tak mampu kuujar kata lewat mulut yang jadi kelu
lantaran larat-larat panjang
yang kau tidak usah tahu.

— 30 Mei 1981

 

Runtuhnya satu tirani

Posted by ~alof in ,

Kita bukanlah orang-orang yang bisa tahan
untuk sekian lama di bawah gerigi tajam
yang senantiasa mengancam kerongkongan kita.
Kita dilahirkan bukan cuma untuk merangkak di serambi rumah.
Kita musti angkat kita punya harga diri
lantaran cuma kita yang punya hak tentukan nasib kita sendiri
bukannya orang lain yang dengan kuasanya jadi penjarah rumah kita.
Kita musti bangkit serempak dalam satu irama yang nyata ada,
kita musti tegak serentak dengan satu nada dalam hirupan napas,
bukan cuma omong kosong di mimbar-mimbar dan kedai kopi
dan juga bukan hanya lagu-lagu di atas bus kota.
Kita musti bulatkan tekad dan ikhtiar,
kita musti keraskan kita punya dada,
kita musti berani korbankan kita punya nyawa!

Ayo maju!
Majulah dalam satu petikan tunggal penghabisan
buat tegakkan kembali harga diri
atau untuk berkubur dalam tumpukan bangkai dan senapan.

— 30 Mei 1981

 

Hening

Posted by ~alof in ,

Hening itu ada
meski dia hampa.
Namun dia maya,
karenanya dia segala,
Mustinya dia jadi pusaka
ketika darinya terjalin cita-cita
yang padanya bermuara pusara.

Hening itu ada.
Hening itu hampa.
Hening itu maya.
Hening itu segala.
Hening itu pusaka.
Hening itu cita-cita.
Hening itu pusara.

Heninglah yang hening
dari semua perasaan.

— 14 Mei 1981

Dalam keheningan, inspirasi datang.
Dalam keheningan, jiwa terjaga.
Dalam keheningan, semuanya dimulai.
Dengan keheningan, semua diakhiri.

 

Perjalanan ke kemustahilan

Posted by ~alof in ,

Inilah aku!
Aku adalah aku,
dan tetap akan jadi diriku sendiri
yang berlari dalam bayang-bayangku sendiri
menantang matahari merah
yang mencibir di atas ilalang bergoyang,
yang tertawa di pucuk-pucuk cemara sunyi.
Aku akan daki itu bukit biru.
Gunung-gunung serta rimba jadi jejak di muka
sedang samudra akan terhembus kering.

Hai, coba kau tengok di padang rumput sana,
banyak kuda liar binal.
Ah, baiknya kutangkap satu,
itu yang paling legam berkilat, dia yang terkuat
dengan suri panjang dan otot padat kekar.
Biar kupacu dia ke kota
untuk membeli sepucuk senapan dan sebutir peluru
agar dapat kutembak bayang-bayangku kelam.

Aku tak mau diusik.

— 12 Mei 1981

 

Sesungguhnya,
seorang penyair adalah pemberani sejati
karena berani melambungkan apa yang terkubur
tentang hidup dan kehidupan.

Sedang puisi hanyalah seuntaian kata
yang tak layak dihakimi,
karena dibangun atas nurani kebenaran.
Seperti dentang lonceng
yang bergaung mencari makna atas kenyataan
maupun gugatan atas kejanggalan.

Maka, hidup kepenyairan seorang penyair
tak bisa dipisahkan dari keberanian dan kebenaran hakiki
serta dari kenyataan yang harus ditanyakan.

— 7 Mei 1981

 

Epilogue

Posted by ~alof in ,

Dan kita cuma tinggal darah kental beku dan belulang kotor
yang masih mencari diri setelah sekian lama tercatat di kitab bumi purba
namun tetap tidak bisa mengerti buat apa kita ada.
Hei! Jangan kau hanyut dalam ketiadaanmu!
Tarik layar! Tutupkan!

— 5 Mei 1981

 

Prologue

Posted by ~alof in ,

Ayo!
Bunyikan canang dan tiup nafiri
dan pimpin para perempuan bernyanyi.
Biarkan tanah dan langit bersuka,
biarkan air gemercik naik,
dan ranting-ranting gemerisik
hingga burung-burung bisa berlagu.
Dan kita yang berlaksa-laksa
akan duduk tenang di bawah pohonan rindang di padang rumput lengang
akrab dengan kawanan domba dan singa
buat merenungkan makna titik-titik gerimis rinai
yang berlomba-lomba meninggalkan teja
dan menyiratkan sebuah puisi kedamaian yang didendangkannya.

— 5 Mei 1981

 

starlet

Posted by ~alof in

Aku bicara padamu

(song for Starlet)

Biarkan kugenggam satu kenyataan.
Satu saja dari sekian khayalmu tanpa tepi
tentangmu dan hidup ini
serta tentang kau dan aku.
Karena kutahu,
kau tak mungkin bisa sembunyikan itu
di balik bola matamu bening biru.

Rambutmu blonda tergerai di kelopak hati merah
menggetar sukmaku beku.

Starlet,
kalau kau tahu tentang aku,
kupasti kau akan lari
karena aku cuma seorang pemegang kenyataan.
Dan satu yang perlu kau tahu, Starlet,

— jangan kau cakar masa laluku!
Bila kau cuma mau lewat dalam hidupku, lewatlah.
Jika kau hanya mau pergi dari hidupku, pergilah.
Namun biarkan kugenggam satu kenyataan,
cuma satu,
dari sekian khayalmu tanpa tepi
tentangmu dan kenyataan ini
serta tentang aku dan kesendirian.

— 25 Pebruari 1981

 

Nyata

Posted by ~alof in ,

Sebuah lagu dipenggal di tengah sebelum refrainnya
dan secarik harga diri melayang jatuh
tanpa kuasa membantah.

Aku berdiri di sini
menatap matahari kuning terbenam dari balik airmata
dengan kepedihan menyayat sanubari
menindih kebebasan benakku
lantaran sepatu-sepatu lars yang berderap di kepalaku
di atas karsaku
dan bayonet terhunus menoreh nadi leherku
pada karyaku.

Puisiku cabik-cabik oleh peluru,
laguku mati kesepian sendiri
dihimpit dinding berterali dan pagar kawat berduri,
segala syairku terbenam dalam lumpur,
dan hatiku koyak-moyak oleh ketidakberdayaan.
Hidupku mati tanpa petikan harpa.
Mati.

O, Tuhanku,
mustikah seorang realis membunuh idealismenya?

(Kunyanyikan lagu ini di alam nyataku, dalam khayal mayamu.)

— 23 Pebruari 1981

 

# sambung rasa

# gurat kiwari