nicolette

Posted by ~alof in

Albrechtstrasse Berlin 1983

Aku bangun dengan tubuh penat.
Kamar begitu sepi dan kosong.
Kuberaikan selimut ke lantai.
Sambil menguap kuturuni ranjang.
Dari balik jendela kutampak jalan
berlumur salju sisa semalam.

Nicolette bersenandung di dapur.
Agaknya sarapan sudah siap.
Dan aku berani pastikan
dalam tempo semenit lagi
dia akan berseru memanggiliku.
Dan jika aku berpura-pura tuli,
Nicolette yang manis akan menyeretku ke kamar mandi.

Sarapan berdua di sofa.
Aku belum lagi cuci muka.
"Rambutmu itu. Brunette aku suka", katanya selalu.
Aku cuma tertawa. Lalu menguap lagi.
Biasanya aku membalas, "Blondamu itu yang aku suka".
Lalu sambil menggigit sepotong roti keju,
kuucak ubun-ubunnya.
Nicolette yang manja tertawa riang.
Dia selalu suka.

Melangkah berdua di Unter den Linden.
Diam.
Bersigenggam tangan sepanjang jalan.
Udara rasanya busuk sekali.
"Dingin sekali", rutukku membuka cakap.
(Sedari dulu aku memang tidak bisa akrab dengan musim dingin.)
Jaketku tidak banyak menolong.
Nicolette memelukku.
Sambil tertawa dibelitkannya syal ke leherku.
"Aku ingin ke negeri tropis. Suatu saat", katanya tanpa sebab.

Bersitatap di stasiun metro,
aku cuma bisa senyum tentramkan diri.
Waktu terus merambat.
Terlalu cepat.
Lantas kuucapkan selamat tinggal.
Bibirnya tipis lekat di bibirku.
Dingin.

Nicolette yang muram,
semuram Berlin pagi hari,
dengan senyum sayu dalam getar bibir.
Mata berkabut di balik poninya.
"Selamat jalan. Aku kehilangan", balasnya.
Enggan.

Aku lirik jam di dinding.
Sebentar lagi kereta berangkat.
Aku lambaikan tangan.
Kaca jendela jadi terlalu buram.
Seakan ada halimun turun seketika
entah di mata, entah di stasiun kota.
Nicolette yang duka tinggal sendiri.

Aku melihat mawar di balik terali putih
dan secawan anggur merah.
Seekor ular menggeliat-geliat di kelopaknya.

Pesawatku mengudara.
Nicolette yang manis,
semanis Berlin pagi hari,
tinggal sendiri
dalam salju dan kabutnya.

— 25 Maret 1983


Nicolette di Paris

Kristal es menyublim
di antara cengkeram kuku baja Eiffel
membiaskan cahaya butiran bintang
seperti kunang-kunang.
Merah. Kuning. Biru.
Tetes yang dingin perlahan merayap di kulit
seperti sayatan memanjang
melingkar dalam pusaran
dalam kehampaan tegas.

Bukan cuma satu kali
atau laksa kali
kehadiran menjadi satu kebutuhan.
Terutama di saat ketidakberdayaan menggumpal sempurna
menjadi ketidakbergunaan.
Aku yang tersisa dari sekian yang tersisih
seperti terkaram dalam pekat
tanpa pernah mengerti
untuk apa merasai
sesuatu yang tidak lagi dimiliki
seperti kali lain
yang tertindih sensasi purba.

Eiffel yang dingin
ketika jemari angin menembusi cakarnya
seperti siulan di pagi hari
yang tidak seorang pun menyahuti.

Kepernahan nyaris bagai ketiadaan
ketika di satu malam
cuma aku dan kamu
yang menyublim bersama kepenuhan malam.
Sempurna.

Nicolette tidak pernah ingkar janji.
Dalam tidurnya pun
tiada nama lain yang dibisikkan.

Eiffel adalah saat berlabuh
untuk mengumbar kemungkinan-kemungkinan
yang antara bisa dan biasa.

Pagi masih sangat bayi ketika aku terjaga.
Belum ada semerbak kopi
atau aroma cengkeh terbakar.
Hanya wangi fajar.
Ada sekumpulan bintang tersisa
dari kejaran merah ufuk Timur.

Angin agak membeku
ketika kubuka pintu balkon.
Batang pagar beton berembun
membasahi jemari.
Kota masih senyap dalam kerlip
di bawah selangkang kaki baja Eiffel.
Noktah-noktah lampu jalan
beriringan bagai sebarisan kunang-kunang
yang tidak bergerak sepanjang sisi jalan
menyusur lorong-lorong.

Dalam keheningan yang lembut
kabut tipis-tipis menelikung kelam
membuat segalanya abu-abu
dalam rasa duka
yang entah apa sebabnya.

Nicolette mendesahkan sesuatu.
Pirang rambutnya seperti emas
tergerai menghampar bantal.
Matanya masih terpejam
seperti bayi tanpa mimpi.

Aku tidak pernah bisa menjawab
bagaimana aku mulai mencinta.
Apakah rambutnya atau mata
ataukah kulitnya atau tawa
atau lenggangnya atau hati.
Semua dalam seketika
mencuat dari dalam
ketika duduk di cafe trotoir rue de Paris
merenungi tualang yang kesekian kali.
Nicolette dengan ransel di punggung
berdiri di hadapan
sebab tidak ada kursi tersisa
selain satu di depanku.
Maka regukan kopi menjadi panjang
ke cangkir ketiga
lantaran tercipta atmosfer perbincangan
yang sangat abstrak
tentang astronomi dan kitab-kitab.

— R. Mangun, 24 Maret 1998

 

# sambung rasa

# gurat kiwari