miranda

Posted by ~alof in

Children of dream
(song for Miranda)

Saat matahari tua kembali berlabuh di cakrawala
dan laut biru jadi merah emas berkilat
maka burung-burung camar yang lelah kembali pulang
ke relung kegelapannya
yang tersangkut di tengah lingkup ujung senja kefanaan.
Camar-camar yang perkasa telah kembali sebelum badai tiba.
Berlindung di balik mega kerinduan yang berjela-jela sampai ke laut
sementara gelombang makin ganas mengombang-ambing hidup
dan membentur-benturkannya ke karang tajam.

Anak-anak mimpi kembali terjaga di balik kemudi
dan kaki-kaki mereka menjuntai ke air
menyepak-nyepak
dan menyesali nasib tak menentu.
Kau pun lalu bangkit
sambil memanggul kecapi harapanmu
agar dapat segera berlabuh di satu dermaga kenyataan yang baru.

Camar laut yang cantik,
tak dapat kubayangkan beratnya nada getirmu
yang pernah kau dendangkan dalam lagu
yang dihanyutkan angin dan riak laut padaku:

"Kenapa musti kutanggungkan ini
di atas hati yang amat rapuh?
Sedang pesisir persinggahan belum juga tampak di titik api".

Camar laut yang cantik,
jangan kau baringkan semangat di pasir.
Nyalakan! Nyalakan di sini, di dada!
Lalu katakan pada dunia
bahwa camar laut yang cantik akan segera kembali.

— 30 Mei 1981

 

ninna

Posted by ~alof in

Fragmen IV

(kerinduan pada Ninna yang tak pernah terucapkan)

Perjalanan kita kali ini rasanya amat berat buatku
karena kau ada di sampingku.
Berulangkali kucuri pandang
menoleh wajahmu yang selalu membuat jiwaku menggelepar tak putus
sementara kau begitu terpana menatap gunung biru di muka
tanpa menyadari keresahan yang turun mengabut.

O, sungguh,
tak dapat kutahankan detak jantung bergumam:
Kenapa kau musti hadir di selembar titianku?

Pekat udara dalam hirup.
Mustikah aku berhenti
dan mulai bertanya pada diri?
(Sedang aku di sini tidak punya kata tersisa.)

O, sungguh,
tak mampu kuujar kata lewat mulut yang jadi kelu
lantaran larat-larat panjang
yang kau tidak usah tahu.

— 30 Mei 1981

 

Runtuhnya satu tirani

Posted by ~alof in ,

Kita bukanlah orang-orang yang bisa tahan
untuk sekian lama di bawah gerigi tajam
yang senantiasa mengancam kerongkongan kita.
Kita dilahirkan bukan cuma untuk merangkak di serambi rumah.
Kita musti angkat kita punya harga diri
lantaran cuma kita yang punya hak tentukan nasib kita sendiri
bukannya orang lain yang dengan kuasanya jadi penjarah rumah kita.
Kita musti bangkit serempak dalam satu irama yang nyata ada,
kita musti tegak serentak dengan satu nada dalam hirupan napas,
bukan cuma omong kosong di mimbar-mimbar dan kedai kopi
dan juga bukan hanya lagu-lagu di atas bus kota.
Kita musti bulatkan tekad dan ikhtiar,
kita musti keraskan kita punya dada,
kita musti berani korbankan kita punya nyawa!

Ayo maju!
Majulah dalam satu petikan tunggal penghabisan
buat tegakkan kembali harga diri
atau untuk berkubur dalam tumpukan bangkai dan senapan.

— 30 Mei 1981

 

Hening

Posted by ~alof in ,

Hening itu ada
meski dia hampa.
Namun dia maya,
karenanya dia segala,
Mustinya dia jadi pusaka
ketika darinya terjalin cita-cita
yang padanya bermuara pusara.

Hening itu ada.
Hening itu hampa.
Hening itu maya.
Hening itu segala.
Hening itu pusaka.
Hening itu cita-cita.
Hening itu pusara.

Heninglah yang hening
dari semua perasaan.

— 14 Mei 1981

Dalam keheningan, inspirasi datang.
Dalam keheningan, jiwa terjaga.
Dalam keheningan, semuanya dimulai.
Dengan keheningan, semua diakhiri.

 

Perjalanan ke kemustahilan

Posted by ~alof in ,

Inilah aku!
Aku adalah aku,
dan tetap akan jadi diriku sendiri
yang berlari dalam bayang-bayangku sendiri
menantang matahari merah
yang mencibir di atas ilalang bergoyang,
yang tertawa di pucuk-pucuk cemara sunyi.
Aku akan daki itu bukit biru.
Gunung-gunung serta rimba jadi jejak di muka
sedang samudra akan terhembus kering.

Hai, coba kau tengok di padang rumput sana,
banyak kuda liar binal.
Ah, baiknya kutangkap satu,
itu yang paling legam berkilat, dia yang terkuat
dengan suri panjang dan otot padat kekar.
Biar kupacu dia ke kota
untuk membeli sepucuk senapan dan sebutir peluru
agar dapat kutembak bayang-bayangku kelam.

Aku tak mau diusik.

— 12 Mei 1981

 

Sesungguhnya,
seorang penyair adalah pemberani sejati
karena berani melambungkan apa yang terkubur
tentang hidup dan kehidupan.

Sedang puisi hanyalah seuntaian kata
yang tak layak dihakimi,
karena dibangun atas nurani kebenaran.
Seperti dentang lonceng
yang bergaung mencari makna atas kenyataan
maupun gugatan atas kejanggalan.

Maka, hidup kepenyairan seorang penyair
tak bisa dipisahkan dari keberanian dan kebenaran hakiki
serta dari kenyataan yang harus ditanyakan.

— 7 Mei 1981

 

Epilogue

Posted by ~alof in ,

Dan kita cuma tinggal darah kental beku dan belulang kotor
yang masih mencari diri setelah sekian lama tercatat di kitab bumi purba
namun tetap tidak bisa mengerti buat apa kita ada.
Hei! Jangan kau hanyut dalam ketiadaanmu!
Tarik layar! Tutupkan!

— 5 Mei 1981

 

Prologue

Posted by ~alof in ,

Ayo!
Bunyikan canang dan tiup nafiri
dan pimpin para perempuan bernyanyi.
Biarkan tanah dan langit bersuka,
biarkan air gemercik naik,
dan ranting-ranting gemerisik
hingga burung-burung bisa berlagu.
Dan kita yang berlaksa-laksa
akan duduk tenang di bawah pohonan rindang di padang rumput lengang
akrab dengan kawanan domba dan singa
buat merenungkan makna titik-titik gerimis rinai
yang berlomba-lomba meninggalkan teja
dan menyiratkan sebuah puisi kedamaian yang didendangkannya.

— 5 Mei 1981

 

# sambung rasa

# gurat kiwari