yanni

Posted by ~alof in

Drama #2

: angel's eyes

Melintasi duka di matamu
aku jadi terperangah
karena wajahku jadi begitu jelek.

— 11 Maret 1982


Sebuah opera yang gagal

Aku tak mengerti kenapa opera kita yang mahal itu jadi mentah di pentas.
Apakah lantaran terlalu banyak improvisasi?
Ataukah karena kita memang belum matang untuk memerankannya?

— Entahlah.

Aku tak mengerti kenapa aku lantas begitu saja suka padamu.
Apakah lantaran senyummu khas yang kusuka?
Ataukah karena kekanak-kanakanmu yang mengharubirukanku?

— Entahlah.

Aku tak mengerti kenapa kau lantas begitu saja mengecup pipiku.
Apakah lantaran lonjakan emosi dan ketaksadaran?
Ataukah karena luapan sebuah rasa yang tak cukup lewat tatap dan kata-kata?

— Entahlah!
— Entahlah.
— Entahlah?
— Entahlah...

— 9 Mei 1982


Sekuntum anggrek ungu

sekuntum anggrek ungu yang kauberikan sore itu
akan tetap tersunting rapi di kamarku yang sepi
sampai setahun mendatang.

Ketika kaupetikkan sekuntum anggrek ungu itu
dan kauberikan padaku
dapatkah kaurasakan betapa debar jantungku jadi demikian bergemuruh?

sekuntum anggrek ungu yang kauberikan sore itu
akan tetap tersunting rapi di kamarku yang sepi
sampai setahun mendatang.

Layu dan kering.
Kini tinggal bentuknya coklat abadi.
Namun kasihku padamu tak akan pernah layu dan kering.
Abadi seumur desahku.

sekuntum anggrek ungu yang kauberikan sore itu
akan tetap tersunting rapi di kamarku yang sepi
sampai setahun mendatang.

Namun,
masihkah kauingat aku setahun mendatang?

— 9 Mei 1982


Sebuah nyanyi duka pengantar tidur

(Pada mulanya nyata:
tak ada ekspresi dan emosi.
Hanya kehampaan sukma:
betapa duka demi duka melanda jiwa rapuhnya.
Selaksa kecewa membatu di dasar perasaannya
yang tersembunyi di balik senyum manisnya,
yang terselubung dalam kekanak-kanakannya.)

Salahkah aku ketika aku jadi begitu menyukaimu dan mengakrabimu
ketika kutahu kausuka aku?

Lalu,
salahkah aku ketika aku menjauhimu
ketika kutahu kaubenci aku?

Aku cuma bertanya.
Aku bertanya.
Aku menyatakannya.
Aku telah menyatakannya.

Parahnya.
Dukanya.

(Masihkah kau belum mengerti?)

— 16 Mei 1982


Lahirnya sebuah romansa

Adalah sebuah kisah
tentang seorang perjaka dan seorang dara
dalam sebuah riwayat anak manusia:

"Sang perjaka begitu mencintainya
namun sang dara tiada pernah memikirkannya."

— 29 Juni 1982


Sajak #3

(buat Yani)

Ha,

datang satu masa,
datang satu cinta,
datang satu kisah,
datang satu luka.

Salahkah?

— 1 Oktober 1982

 

siska

Posted by ~alof in

Stanza cinta pertama

Di antara bayang-bayang ilusi yang menghambur di hadapanku
tampak sederet wajah menatap
tanpa pancaran jiwa dan hati
cuma tatap kosong tanpa arti.
Sementara hujan yang dingin luruh di luar
dan burung yang kuyup menggigil,
kulangkahkan kaki ke luar rumah
melangkahi pekarangan yang becek tergenang.
Tak kupedulikan lagi bayang-bayangku yang menggerutu kebasahan
karena telah kutetapkan:
bahwa aku harus pergi ke taman kota
dimana pada saat seperti ini setahun lalu
aku bertemu dengannya.

— 28 Oktober 1980


Pada satu kehampaan

Tetes hujan yang terakhir sore ini
mengaburkan tatapku pada selendang nirwana tujuh warna
yang tersangkut di pucuk-pucuk pinus
yang bergoyang di dataran memerah sana.
Sementara getar lukisan syair lagu di ombak lautan membuih
menerpa dinding hatiku yang melompong.

Tiada arti.

— 28 Oktober 1980


Bila sebuah kasih direnggutkan di tengah

(kutuliskan buat Siska dengan cinta putihnya)

(Kalau ada orang bertanya padaku apakah aku pernah jatuh cinta,
maka dia adalah orang yang menyangsikan keadilan hidup ini.)

Mustinya kita tak usah pernah dijumpakan satu kali pun dalam lagu nyawa kita
karena sangat beratlah beban yang kutanggung pada akhirnya kini
dan bahuku sudah terlalu letih untuk menahankannya dalam hati.
Kepenatan jiwaku sudah merentang tegang akan putus
tak kuat memendam duka yang mengental dalam kalbu
terbakar rasa sesal dan rindu yang dalam akan hari-hari lalu kita yang tak bersisa
sedang masa datang seakan enggan berbaik padaku
bahkan terasa kejam menghalang pandangku ke muka
dengan tirai kenangan yang sangat tebal. Tak tertembusi.

Sampai kini aku masih belum mengerti kenapa kita musti dipertemukan
dan kenapa aku musti jatuh cinta pada kamu
sementara kamu sendiri ada menyikapi dengan hati putih.
Namun aku tetap makin tidak mengerti
kenapa kita lalu dipisahkan dengan kepedihan yang disisakan buatku seorang.
Apakah lantaran hukuman kejalanganku
yang membuatku tak berhak mendapat cahaya terselip di ikal rambutmu pirang
maupun damba kedamaian yang tersirat di bola mata kamu yang bening?
Tapi, jika semua itu adalah dosaku,
lantas kenapa bukan aku si jalang, melainkan kamu,
yang harus direnggut kanker jahanam itu?

(Kalau ada orang bertanya padaku apakah aku pernah patah hati,
maka dia ada menambah satu goresan kepedihan di atas luka lama di jantungku.)

— 16 Mei 1981


Puisi jatuh cinta, puisi akhir cinta, puisi hidupku

Merayapi lorong suram di Utara kota
aku serasa menghadapi sebuah kenyataan
bahwa duniaku tak sekabur khayal
(Namun juga tak seindah angan).

Semenjak kenal kamu
matahari jadi tambah akrab membayang di tanah tercinta
dan tak mustahil bila hari-hariku semakin ramah.

Seharusnya kamu jadi bagian dari hidup yang kumiliki
lantaran sebagian kisah hidupku kamulah yang menuliskannya.
Namun sebagaimana matahari,
yang juga merupakan bagian dari hidup,
tidak mungkin dimiliki.
Karena demikianlah takdir yang disuratkan atas keningku:
sebagian kisah hidupku akan kamu bawa jauh.

Meski pada akhirnya malam turun
dan merangkak semakin larut,
namun lentera yang telah kamu nyalakan di ujung jalan mampu memandu
dan pada kerlipannya aku tampak doamu.

Selamat jalan, Siska,
bawalah sebagian kisahku agar berwarna kisahmu.

— 27 Nopember 1981


Balada hari lalu

: yesterday

Terlalu sering kurindu hari lalu
yang penuh keceriaan manusia lumrah.
Begitu terangnya matahari membalur
mengikis habis semua ceceran malam.

(Betapa aku rindu hari lalu.)

Tak jarang aku terperangah
mendapati diri yang jadi asing
karena aku bukan lagi manusia kemarin
yang penuh daya dan harap.
Aku telah terperangkap dalam ajang hari tak menentu.
Aku bukan lagi orang yang bisa tegak.
Sedang bayang-bayangku pun begitu erat mencekik.

(Kenapa hari lalu musti begitu cepat berlari?)

Kian lama aku jadi kian tidak mengerti
kenapa kamu tega berpaling
saat aku terjerat bingung dilanda ketidakmenentuan diri.
Tanpa satu ucapan
yang bisa ungkapkan bagaimana aku menyikapi.
Aku hanya bisa termangu.

Kian kuat anganku akan kembalinya kamu
sambil merengkuh hari laluku
agar dapat kutulis ulang riwayat kita
seperti dulu yang demikian penuh tawa.
Lihatlah, betapa menyakitkan kini:
bahwa aku membutuhkan satu tempat sembunyikan diri
yang tak lagi sanggup mendada kenyataan.

(Betapa aku rindu hari lalu.)

Cuma gulir pedih yang selalu setia sejak hari laluku sirna.

— 27 Nopember 1981


Sebuah ketika

: love me do

Ketika aku tahu semuanya musti demikian:
— aku cinta kamu dan kamu cinta aku,
kita lantas saling menautkan tali sukma kita.
Demikian pula,
perasaan kita berpadu dalam satu golakan.
Dan aku akan berkata "Aku cinta kamu".
(Entah untuk yang keberapa ratus kali. Tak pernah usang. Tiada bosan.)
Lalu akan kita satukan degup jantung kita
agar nadi selalu jadi saksi cinta kita.

Kita tiada akan terpisahkan lagi.
Selamanya.

— 20 Januari 1982


Buat Siska

Tak akan dapat kupungkiri
kau selalu hadir di seputar hidupku:
wajahmu yang menyelinap di antara nada-nada laguku
dan bisikmu yang menyusup di sela lengkingku.

(Tak kutahu kenapa laguku penuh dengan bayangmu.
Percik rinduku dan pesonamu tertuang dalam satu jalinan kisah pendek
yang belum lagi selesai kita susun.
Sedang kita tidak lagi tertautkan. Selamanya.)

Hari-hariku kini tinggal sebuah penantian panjang.
Bayangkan betapa lukanya
mengenangkan kau yang larut jauh
tidak teraih lagi
sedang kau selalu muncul dalam setiap larik napasku.

Nada gemerincing.
Nada mendentam.
Padam.
Selamanya kaulah lagu cintaku.

— 18 Pebruari 1982


12 Agustus 1961 hingga 12 Maret 1980

Siska,
detak jantungmu — detakku,
desah napasmu — desahku,
senyum samarmu — tawaku,
denyut nadimu — nadiku,
suci cintamu — kisahku.

— 12 Maret 1982


Drama #1

(tembang duka seorang manusia duka)

Kemarin petang hujan turun lagi di kota
dan aku tak datang padamu.

Lihatlah mega-mega yang kini berarak ke Barat
dan bunga-bunga yang dulu kau kirimkan sudah luruh layu.

Langkahku di pematang terhenti.
Di antara gemercik air kubisikkan lewat angin di padi-padi kuning:

"Maafkan aku tak bisa hadir di pemakamanmu
lantaran aku kini cuma orang buruan
yang terpaling dari dunia.
Namun,
mimpikan aku dalam tidurmu".

— 13 Maret 1982


Sajak #1

buat kasihku: Francesca Adriana

Mustikah semua jadi begitu
kau dan aku terpaut begitu jauh
dalam dimensi yang berbeda...?

— 14 September 1982


Sajak #2

buat Francesca Adriana

DikuduskanNyalah cintamu,
disucikanNyalah cintaku,
dikekalkanNyalah cinta kita,
dalam kekudusanNya.

— 14 September 1982

 

Jika

Posted by ~alof in ,

(puisi anarkis — sebuah kidung kematian)

Jika ada lelaki yang terkapar di jalanan,

itulah kita yang terbantai kuasa!

Jika ada lelaki yang tergantung di palang bersilang,

itulah kita yang terjagal ketamakan!

Jika ada lelaki yang terbenam dalam kelam di balik terali,

itulah aku yang terlanda masa!

— 14 Agustus 1982

 

marina

Posted by ~alof in

Balada seorang manusia duka

(sebuah dendang untuk Marina)

Sekian lama aku dan kau berdekatan
namun tidak ada satu perasaan pun tumbuh di dalam sini.

Dan kenapa justru kini aku jadi larat:
semakin lama aku semakin terjerat
dalam sihir personamu
sedang kau tak mungkin lagi dapat kurengkuh.

Dukaku, bayang-bayang setia.

— 30 September 1981


Sebuah kidung di bayang senja

(serenada buat Marina)

Semburat rona wajahmu
kala kubisikkan sejuta hasrat rinduku padamu.
Wajahmu yang menyisi tak bisa menipuku
dan bening bola matamu jadi cermin hatimu.

Sama-sama kita berbincang akrab
di sudut sebuah dunia yang penuh selidik.
Sama-sama kita bersitatap lekat
mencoba mencari dasar hati.
(Dan rinai hujan yang kita tembus senja itu
menambah teguh ujar perasaanku.)
Sama-sama kita senandungkan "New York New York"
di kelengangan pusat kota,
di antara deburan jiwa.
Sama-sama kita tembus padang suara
yang mendinding di antara kita.

— 16 Oktober 1981


My mysterious Marina

Beningnya bola matamu
dan renyah tawamu
begitu lama tersimpan dalam rongga dada.
Sikapmu padaku yang agak berbeda
dan senyummu yang sering tampak tulus
(penuh sihir pesona)
jadi sebuah misteri buatku.
Tak kunjung tuntas.

— 13 Nopember 1981


Sepulang menyusun sebuah hari

Sebuah kecup di pipiku
seakan jadi meterai antara kita
bahwa kau dan aku memang terjalin dalam seuntai rasa.

(Aha,
tak semua orang bisa mengatakan
dan tak semua orang bisa menyatakannya.
Demikianlah kita, Marina.)

— 13 Nopember 1981


10 detik

Marina,
kenapa semalam kau tak hadir dalam mimpiku?
Marahkah kau
lantaran kukecup bibirmu kemarin petang?

— 13 Nopember 1981


Aku dan Marina: sebuah tragedi

Aku dan kau,
ditakdirkan sebagai dua karang kokoh
yang teguh berpijak pada keyakinan diri.
Kita sama-sama keras kepala
untuk mengakui adanya rantai pesona antara kita
sehingga pada akhirnya
kita musti terbelenggu di dua dinding berbeda
yang amat berjauhan
dan yang amat menyakitkanku.
(Entah bagaimana perasaanmu.)

— 13 Nopember 1981


Syairku pada satu malam bertanggal 26 Nopember 1981

Bunga mawar yang pernah kausematkan di saku bajuku
masih terpasang rapi di antara aliran darahku.
Merahnya berbaur merahku,
segarnya berpadu gairahku
di lubuk terdalam
bersama seulas senyummu.

— 26 Nopember 1981


# Cindy = รพ Marina

(aku di antara tuts-mu)

Adalah sangat menyakitkan
untuk menerima satu kenyataan:
tak ada lagi sepercik cinta pun tersisa buatku.

(Dan berdosakah aku
bila aku mulai sangsi akan makna cinta?)

Marina,
kenapa kau begitu mirip dengan cinta lampau?
kenapa kaubawa citra cinta lamaku?

(Dan apakah musti selalu begini akhirnya:
aku tertinggal sendiri di simpang jalan yang sunyi?)

— 26 Nopember 1981


Teardrops in my eyes

(wish and why)

Kadang kuberharap
ada jarak membentang
antara kau dan aku
karena aku tak cukup tangguh
mendekatkan kau ke sisiku.

Marina,
kenapa aku harus terhempas
di hamparan sihir pesonamu?

— 27 Nopember 1981


My Marina

: thank you, girl

Tak usah kaget bila aku sering-sering memandangmu
dan jangan terperanjat bila sering kututurkan dukaku padamu
lantaran cuma kau yang peduli,
hanya kau yang sanggup memupus
sebagaimana selalu kaulakukan.

Biarkan kutuang semua pedih
dan kaukecup semua luka.
Kauluruhkan semua lara,
kaujejakkan lagi aku dari keniscayaan.

Dan tak usah terperanjat bila aku jadi kian jatuh
lantaran kutahu:
— aku cinta kau, sedang kau tak terraih.

Namun demikian,
biarlah semua berlangsung demikian,
selamanya.

— 20 Juni 1982

 

Pagi-Nya

Posted by ~alof in ,

(satu obade)

Ketika terjaga,
mentarinya sudah tersangkut di sudut Timur
dengan lidah-lidah cahaya
semburat di balik bukit.

Laut di sini penuh luka
pepasir penuh noda.
Namun langitMu kuakkan cinta.

Dalam nama Bapa + Putra + Roh Kudus
aku nyanyikan sebuah obade.

PagiNya.

— 29 April 1982

 

Di atas puing kecewa

Posted by ~alof in ,

: run for your life

Tetes dukaku tak lagi terbendung di bawah kulit,
merembesi pori-pori
membalur tubuh.
Letihku bukan lagi keletihan seorang manusia
lantaran aku tak lagi punya perasaan buat merasai.
Sedang waktu tak lagi berbaik hati.

(Anjing-anjing laknat telah kian dekat.
Salaknya seperti sudah teramat dekat.)

Larilah, lariku!
Melangkahlah, kakiku!
Jauhlah dari segala laknat di belakang
dan tutupkan pandang dari segenap duka
lantaran kedua mata kita pun telah sarat
oleh nanah.

Dengarlah deru angin
dan pasrahlah.
Lihatlah hujan yang tak lagi cuma rinai:
tirai air mendinding
menghunjam ubun-ubun,
membekukan jejak.

(Anjing-anjing laknat telah amat dekat.
Taringnya terasa menghunjam di otot.)

Saat terakhir aku baru menemukan kata penutup
berupa keluh di ujung lidah:
— Hujan belum lagi usai
namun hatiku sudah jadi puing.

— 11 Maret 1982

 

Balada seorang kosmopolitan

Posted by ~alof in ,

(from Cambodia to New York)

Begitu banyak jalan telah kutempuh, Kasih,
dan aku masih harus terus berlalu, lagi,
bagai debu terhembus angin
sebab aku hanya seorang kosmopolitan.

Sekian banyak tempat telah kudatangi,
begitu banyak waktu terlampaui.
Inilah tualang panjang yang tak akan pernah berakhir.
Dan tiada tempat bagiku,
dan tiada damai kutampak,
dan tiada seorang pun kecuali aku.
Sebab aku hanyalah seorang kosmopolitan
hingga kututup buku hayatku.

— 22 Januari 1982

 

# sambung rasa

# gurat kiwari