Ketika sadar

Posted by ~alof in ,

Ketika sadar,
terbangun dari satu tersisa
yang masih mengambangi langit senja,
aku merasa
tiga hampa mengganjal rasa
: tentang yang telah dilampaui

dan sesal tak beralasan

:tentang yang akan dijalani

dan impian-impian maya

: tentang yang tak pernah tertanyakan

dan nisbinya keniscayaan.

Maka,
tersadar akan perjalanan
adalah satu beban tak berkesudahan.

— L.Beauty, 19 Desember 1994

 

Suatu masa di tempat ini

Posted by ~alof in ,

Pada mulanya ...
semua tampak sama.
Selanjutnya ...
semua tinggal tetap.
Sama.

— R.Mangun, 23 Juli 1994

 

ria

Posted by ~alof in

Kamu berdua

(untuk Ria)

Ada yang membayang di atas bayang-bayangmu
yang aku tidak tahu apa dan kenapa.
Seperti gairah menggelepar
yang mengepak dalam belenggu keentahan.
Luka itu, Sayang,
dalam membenam.
Seperti torehan lama sebelum kamu.
Menganga.
Terbata.
Iba.
Yang dalam perjumpaan berikutnya
tidak bisa dilupa.

— R.Mangun, 21 Januari 1994


Kita bertiga

(masih untuk Ria)

Adakah secangkir kopi buatanmu menyimpan getir
kala kuteguk menjelang fajar?
Dari sini kita punya masa
sebelum Waikiki tersipu merah tembaga.
Dan perjalanan penghujung tahun
di pesisir Kuta atau Sanur (aku lupa)
lumatkan kesangsianku atas dirimu.
Entah kenapa
begitu sulit kini aku untuk paham
bagaimana merangkai kata mengurai cerita
dan tidak usah peduli pada dusta menjelang senja.

Topeng rangda menggelayut langit.
Ada tiga jejak membekas di pasir.
Kuteguk kopi buatanmu dalam diam.

— R.Mangun, 21 Januari 1994


Sepucuk surat kilat

(juga untuk Ria)

Barangkali seharusnya aku tak bertanya
dimana akan kamu letakkan
sisa perjalanan kita yang lekas.
Karena belum kita temukan batas
untuk saling menyapa tuntas
dan menyepakati keberadaan.

Di lorong-lorong yang menyisakan kelebatmu
aku selalu terhempas
dalam stanza biru-muram
yang pernah kutuliskan entah buat siapa.

— R.Mangun, 21 Januari 1994


Pupus di atas

(tetap untuk Ria)

Langit merah padam
seperti menyimpan dendam.
Buram mata tak kasat pandang.
Aku terperangah terhantam bayang.
Sesobek tanya mendentam dalam
ketika lamunan menghunus pedang
menggores iga telanjang
tepat sesaat sebelum petang.

: Ri, kenapa?
Apa terjadi saat terlena
di antara detak jantung dan dengkur panjang?

Aku tahu ada yang menghadang
di jendela dan pintu mengangkang.
Satu batas kekinian menabir
membenamkan langkah surut di belakang
pada langit merah padam.

— R.Mangun, 22 Januari 1994

 

# sambung rasa

# gurat kiwari