Imago Dei #1

Posted by ~alof in ,

Ya, Tuhan,
betapa lelahnya
mengusung-usung nama-Mu
yang berlumur darah
dan pengingkaran kesakralan jiwa*.
Bolehkah aku berhenti
mencarut-marut wajah-Mu?

— Cipinang, 27 Desember 2000

"Nyawa setiap orang itu sakral", demikian sanggah Nicole Aprile —pengacara dan aktivis antihukuman mati— saat mendebat ayahnya, Don Raymonde Aprile, sang tokoh mafia dalam buku Omerta karya Mario Puzo.

 

niviera

Posted by ~alof in

Niviera #1

Di persimpangan yang sama di hari ke tujuh
dalam perjumpaan yang entah ke berapa
perempuan itu bertanya:
"Pernahkah kita bertemu?"

Adakah saat itu kita sedang bertanya
pada belahan jiwa
yang sedari dulu kita coba temukan
di sepanjang perjalanan?

Wangi tubuh yang sama
seperti ruap tanah disiram hujan petang
dalam bayang-bayang panjang
tatkala cakrawala merah tembaga.

Aku tidak punya jawab atas tanya.
Namun, entah kenapa
lelatu api di matamu tidak asing buatku.
Deja vu!

— 7 Nopember 2000


Perempuan yang percaya pada cinta

Bagaimana mungkin kulukai
perempuan yang bahkan saat keraskan nyali
dan pekikkan "REVOLUSI!"
pun tetap tak percaya pada magi amunisi?

— Cipinang, 10 Nopember 2000


Niviera #2

Adakah yang tersisa dari ketakberhinggaan
kala kaubisikkan kata-kata
yang sanggup urungkan dendam?

— Cipinang, 27 Desember 2000

 

Tiga majus milenium

Posted by ~alof in ,

Desmon kecil dengan mata berbinar
mengejar sambil berseru riang:

"Kakek! Kakek!
Ada hadiah dari Sinterklaas!"

Dengan langkah-langkah kecilnya
terhuyung-huyung membopong bingkisan berkilau
yang terbungkus rapi di tangga gereja.
Sementara abangnya sabar menanti
dengan tangan tak lepas dari genggaman kakeknya.

Sang kakek tersenyum getir
menyadari kealpaan memberi hadiah
buat cucu termuda.
Tangan tuanya keriput
yang bergetar digerogoti rematik
menyambut lembut lengan mungil
seperti Yusuf membimbing Isa kecil
pulang dari kenisah Allah.

(Seperempat jam kemudian,
lamat-lamat kudengar dentuman padat di barat
saat kusenandungkan Malam Kudus.)

Malam itu tidak ada bintang cerlang di balik awan
atau kidung para malaikat.
Angin pun mati dalam kelam
tatkala mereka bertiga
menjadi peziarah tanpa emas, mur, atau kemenyan
meniti tangga ke langit.

Sepi.
Gelap.
Sangit.

Malam kudus...
Malam lampus*...

— L.Earth, 24 Desember 2000, 23.45 WIB

* lampus = mati, mampus [mengutip Amir Hamzah]

 

Idul Milad Eid Mubarak

Posted by ~alof in ,

(Lailat 'ul Qadar di Bethlehem)

Aku memandangmu, wajahmu,
sejernih mimpi-mimpi
yang senantiasa singgah
di cincin rembulan penuh.

Aku memandangmu, matamu,
sebening sorak kanak-kanak
yang tak hilang
saat fajar dikuak terik.

Aku memandangmu, hatimu,
sedena segara biru
yang menyimpan rapat
misteri sebelum ada hingga tiada.

Aku memandangmu, jantungmu,
semerah tembaga membara
yang semburkan darah
luka-luka anak manusia.

Aku memandangmu, kasihmu,
sebeku lidahku
yang tak lagi sanggup
isakkan sesalku.

— Cipinang, 23 Desember 2000

 

Amsal pipi

Posted by ~alof in ,

(Tete Manis, Ambon menangis)

Andai kutampar pipimu,
apakah akan kaubalas tampar pipiku
ataukah akan kauberikan pipimu yang lain
agar dapat kutampar hatiku sendiri?

(Tahukah kau,
betapa nyeri luka di dalam sini?)

— Cipinang, 23 Desember 2000

 

erna

Posted by ~alof in

Cry in the sky

(lagu rajawali terluka)

# didedikasikan kepada sang elang proletar #

Kemarin petang
seekor rajawali terluka
terbang mengawang cakrawala.
Sendiri.
Bagai mata esok
yang menembus dua perkara
namun tak sanggup ujarkan
apa yang akan disua
setelah temaram senja.

Di kastilmu, kasih,
pernahkah kamu menyapa malam:

"Janjikanlah padaku satu fajar."
untuk kemudian bisa lelap tanpa airmata
seperti bayi tanpa mimpi?

Kukatakan kepadamu, kasih,
tiada rajawali mengawang malam
andai telah sampai laguku padamu
dalam bisik paling lirih
yang tak akan mengoyak sakral heningmu:

"Kunanti kamu di bibir fajar".

Ataukah malam tak akan pernah berakhir?

(Kunyalakan sebatang lilin
sebagai kawan tafakur
meniti bulir-bulir waktu
yang menetes di pori-pori malam.
Dan dengan khidmat
kuujar namamu.)

— Cipinang, 23 Desember 2000

 

Airmata kami

Posted by ~alof in ,

Airmata kami
lumatkan semua nestapa
yang pernah hadir
dalam hirup napas keseharian.

Airmata kami
luruhkan semua percaya
yang pernah dititipkan
dalam suara-suara di gedung rakyat.

Airmata kami
runtuhkan semua harapan
yang pernah singgah
dalam janji-janji tuhan dan dewata.

Airmata kami

:darah percuma.

— Surabaya, 28 Oktober 2000

 

Soempah Serapah 2000

Posted by ~alof in ,

  1. Kami, putra dan putri terluka Indonesia,
    mengaku prihatin
    atas pertumpahan darah
    di seantero Indonesia.

  2. Kami, putra dan putri tertipu Indonesia,
    mengaku dendam
    pada bandit-bandit bangsa
    yang menjarah suara masa lalu, masa kini, dan masa datang Indonesia.

  3. Kami, putra dan putri tersisih Indonesia,
    mengaku bimbang
    memilih bahasa
    yang bisa dipahami sesama orang Indonesia.

— Surabaya, 28 Oktober 2000

 

Kredo kata

Posted by ~alof in ,

Aku tak bicara
karena tak ingin kata jadi percuma
dalam keterbatasannya menerjemahkan magma
yang berkecamuk dalam aorta.

— Kalibata, 18 Oktober 2000

 

Di hari kepergian Rami

Posted by ~alof in ,

(the lemon song/serenada empat butir jeruk)

"Abba, aku takut...
Bukankah seharusnya pasar tidak menyeramkan?
Bukankah kita hanya akan membeli jeruk manis
untuk Ummi dan adik kecil di rumah?
Kenapa pasar jadi begini riuh menakutkan?

Abba, Abba, jawablah.
Jangan berdiam tidur seperti itu.

Aku takut, Abba.
Orang-orang gaduh berlarian.
Teriakan para serdadu mengepung dari seluruh lorong.

Abba, jeruk manis buat adik terjatuh di jalan.
Dia pasti kecewa melihat jeruknya kotor.
Mari kita pungut dan cuci
sebelum terinjak orang.

Abba, dadaku sakit sekali. Perih.
Panas nian udara terasa di tenggorokan.

Abba, pegang tanganku.
Aku gemetar.
Aku kedinginan.
Aku haus.
Aku letih.

Abba, aku mengantuk.
Bolehkah aku istirahat sejenak
pejamkan mata sesaat
sebelum kita pulang?"

Abba! Abba!
Lama sabakhtani!

— Cipinang, 16 Oktober 2000

Melihat beberapa snapshot foto yang merekam korban perseteruan para dewa dan bala tentaranya, aku tidak punya kata-kata lagi.

Death of a boy #1
Death of a boy #2

lambaian tangan sang ayah seakan memohon tentara Israel untuk berhenti menembak

Death of a boy #3
Death of a boy #4

jeritan mereka lenyap dalam keriuhan letusan peluru

Death of a boy #5

anak lelaki kecil itu berusaha menyembunyikan takutnya di balik badan ayahnya

Death of a boy #6

mereka terjebak dan tidak bisa berkutik

Death of a boy #7

anak lelaki kecil itu mati sambil menutupi wajahnya yang direbahkan di pangkuan ayahnya yang juga tertembak mati

Death of a boy #8

mereka terbaring sekitar satu jam.
dan ketika seorang petugas ambulans, Fayez Beblisy, mencoba menolong mereka, dia juga tertembak mati...

 

Mama pasti tahu

Posted by ~alof in ,

(didong)

"Kakak,
apakah Mama tahu
kalau abang kita sudah pergi
ke tempat Mama
seperti yang pernah Papa ceritakan?"

"Mama pasti tahu, Adik.
Mama pasti menemukan abang kita
dan Mama pasti menjaganya
seperti dulu."

"Kakak,
apakah Mama tahu
kenapa abang kita musti pergi?"

"Mama pasti tahu, Adik,
walau kita tidak mengerti,
sebagaimana kita tidak paham
mengapa orang mendobrak pintu
di tengah malam buta
dan membikin sakit-berdarah selangkangan kita.
Mama pasti tahu, Adik."

— Cipinang, 9 Oktober 2000

 

Sebuah negeri yang gamang

Posted by ~alof in ,

Sebuah negeri yang gamang
adalah kuda binal lepas kekang
dengan politisi lupa amanah
yang hanya sibuk berkompromi
dengan sejarah bengis masa lalu,
tanpa hirau atas darah
yang mengambang di tiap anak sungai dan pepohonan,
sedang anak-anak di perempatan jalan
tidak pernah tahu
bahwa masa muda dan harapannya
telah dirampok tuntas
dan lunglai diperkosa habis-habisan.

Sebuah negeri yang gamang
adalah burung nasar siaga
dengan serdadu hilang arahan
yang tak lagi ingat bahwa seteru
tak lain adalah saudara sepupu,
karena mereka sendiri sudah saling tak percaya,
juga karena para jendral yang lupa
bahwa prajurit berhujan-berpanas
adalah tetap manusia
yang punya rasa bosan dan takut
serta kecemasan tinggalkan para kekasih
jadi janda dan yatim-piatu.

Sebuah negeri yang gamang
adalah harimau tua tercampak
dengan pemuda yang menampak musuh dimana-mana
hingga kerap lupa perjuangan mula
selain mencerca dengan kata dan luka
yang untuk kemudian senyap
di keriuhan sorak anggota parlemen
yang tak lagi peduli
pada pemuda yang menghamparkan jaket penuh darah
dari Semanggi ke Polandia.
Para pemuda yang terkapar
adalah pejuang tua
yang kehilangan medali dan nisan purba
bertatahkan hymne anak bangsa.

Sebuah negeri yang gamang
adalah tanah-air carut-marut
yang Tuhan lupa pernah menciptakannya.

— Cipinang, 8 Oktober 2000

 

Masihkah?

Posted by ~alof in ,

(koteka)

Adakah yang masih harus dibicarakan
ketika kata tak lagi bermakna
sedang airmata tak lagi basah?

— Cipinang, 1 Oktober 2000

 

duschka

Posted by ~alof in

Kala rasa membelenggu, kala rasa memerdekakan

— for Duschka, 20 years after

Aku tidak punya seseorang
yang punya cukup dendam untuk balas dicinta.
Tapi aku tahu seseorang yang punya begitu banyak cinta,
yang bahkan sangat berlimpah jika hanya untuk kata,
dan layak untuk dituturkan.

Inilah kisahnya:

Matahari yang teronggok di ujung sore kali itu sangat bersahabat.
Kehangatannya amat terasa di antara bilur-bilur jingga cakrawala.
Aku dan karibku berjalan bersisian
di keteduhan lorong di utara kota
jumpai perempuan muda yang telah merenggut cahaya mataku
sejak mula bersua dalam satu opera bersahaja.

Lantas, pelan kukatakan pada karibku,
"Aku putuskan untuk mencintainya".
Karibku hanya tertawa
lalu berkata, "Kamu selalu cinta pada setiap perempuan".
"Tapi kali ini berbeda!", protesku.
"Bahkan warna kulitnya pun bukan jenis yang kausuka", desisnya,
yang membuat mulutku kelu.

Perempuan muda itu memang tidak istimewa.
Cuma perempuan biasa. Bahkan terlalu biasa.
Rambut — mata — hidung — bibir
dan dada — pinggul — paha — betis
bukan sesuatu yang bisa dia banggakan
atas takdir keperempuanannya.
Bahkan, karibku benar,
warna kulitnya mahogani
bukanlah pualam yang selalu kupersyaratkan.

Entah bagaimana caranya
perempuan itu membuat aku tega
berkhianat pada semua mitos belahan jiwa
yang telah sekian tahun tertanam dalam utopi,
hingga aku kehilangan segalanya.
Boleh jadi, justru itu yang bikin aku begitu suka kepadanya,
seperti anak bungsu yang kembali pulang.

Sejak sua pertama,
dan perjumpaan-perjumpaan berikutnya,
aku makin tak bisa ingkar
pada gelepar kecil dalam dada
yang selalu membelot terhadap ketidakacuhanku.
Dan dalam kesendirianku,
senantiasa dibisikkannya, "Katakanlah! Nyatakanlah!".
Tapi aku malah jadi lebih sering kehilangan kata
bagi sebuah kepantasan perbincangan
hingga aku selalu menunda
seakan belum punya cukup kesanggupan
melawan satu ketidakpastian.
Karena belum pernah terjadi sebelumnya
aku kehilangan sesuatu yang belum sempat kumiliki.
Dan itu terlalu menggentarkanku.

Barangkali aku terlalu lamban untuk paham
bahwa waktu tidak pernah menanti pelari
dan kesempatan tak akan berpaling dua kali
pada tualang yang tak tuntas,
hingga tidak pernah aku sempat
ketukkan jemari di pintu pilihan.

Perempuan muda itu orang merdeka
yang punya kuasa atas pertaruhannya sendiri
menentukan titi harinya bersama karibku.

Tetapi aku tetap mencintainya
dengan senja merah tanpa airmata.

Semenjak itu,
matahari sore yang sama tidak lagi sama
sebab hati yang sama sudah bermetamorfosis
dari angan ke keniscayaan.
Namun demikian,
tidak ada yang berubah antara aku dan karibku
dan antara aku dengan perempuan muda itu.
Kami tetap seperti semula
walau sama-sama sudah paham
bahwa di antara kami bertiga pernah ada sesuatu
yang harus kami bawa untuk seluruh sisa hari.

Perempuan itu punya rasa
yang kerap membuatnya kecewa dan terluka
pada karibku yang juga berkian kali jadi angkara
atas peristiwa dan prasangka
yang tak jarang bikin larat-larat jingga
merajah kenangan bawah sadar
seperti magma menanti erupsi.
Dan di sanalah aku,
di antara mereka berdua,
seperti layang-layang terjerat angin
terhempas bolak-balik
dan kadang harus sedia tercabik
saat kedua badai bertabrakan.
Namun dengan lancang telah kutahbiskan diriku sendiri
sebagai merpati duta antar mereka
dengan berlembar surat tanpa perangko
yang tidak jarang kubumbui cerita
sekedar penawar gelisah maya.

Seperti tetes air melunakkan cadas.
Bertahun-tahun.
Hanya karena aku mencintainya.

Aku ingat ada satu masa,
sesaat sebelum peluit kereta berbunyi,
karibku berkata kepadaku,
"Aku minta kepadamu sebagai sahabat.
Lakukanlah sesuatu baginya di hari-hari mendatang ini
yang bisa membuatnya tidak terlalu risau
hingga aku kembali".
Dan selama sebelas malam penuh
aku jadi pendengar yang patuh
atau kawan menonton sinema
atau sekedar membincangkan buku-buku lama
sambil menikmati secangkir kopi racikannya
di bawah langit berona bintang
di beranda rumah perempuan muda itu.

Dan sebelas tahun kemudian,
perempuan muda itu berjalan anggun
dalam gaun putih ke altar gereja
dengan cincin belah rotan milik karibku
di jari manisnya.

Kini perempuan muda itu telah menjadi bunda
buat anak-anak dari rahimnya.
Dia juga bunda bagi manusia-manusia malang
yang bukan karena kehendak mereka
terlunta di jalanan dan kerasnya belantara beton kota.

Bagaimana aku tidak cinta
pada perempuan perkasa ini?

Tetapi perempuan itu tetap punya airmata
yang kadang mengkristal
dalam isak di pertuturan senja
atau bisik menjelang fajar,
tentang kerapuhan jiwa
yang berulangkali retak dalam apriori.
Dan seperti belasan tahun silam,
aku harus melekatkannya dengan hati-hati
demi dia dan karibku
dan malaikat-malaikat kecil hidupnya.

Perempuan itu punya cinta
yang tak pupus, tak putus.
Tetapi dia tidak pernah mau berkata
tentang satu rasa yang begitu kuharap pernah ada
dalam dirinya di masa lalu
hingga tidak akan terlalu kusesali
keraguan lamaku yang tersia-sia.
"Aku tidak mau menyesali
apa yang kini harus kuhadapi
sampai mati", katanya.
Namun aku tahu,
selalu dia simpankan buatku sepotong cinta
tanpa kata dan tanpa tanda.
Cuma dalam rasa tak teraba
yang sanggup binarkan bola mata.

Maka, aku sangat percaya,
cinta bukanlah sesuatu untuk diperbincangkan
melainkan suatu rahasia istimewa
tentang kualitas tersembunyi dalam jiwa
yang hanya bermakna
bagi mereka yang sanggup menunaikannya.

(Tulisan ini bukan satu yang terbaik dariku.
Entah kenapa aku selalu gagal
temukan kata-kata paling tepat
setiap kali bertutur tentangnya.

O, my God,
after all these years,
almost twenty years, o my Lord,
I still love her. Even more.
)

— pelataran GKI Kebayoran Baru, Jakarta, 15 Mei 2001


Demikianlah kau

Ketika kau kembali dengan dusta lama
aku cuma bisa berdesah:

"Demikianlah kau adanya
membuta demi dia,
bapak kedua anakmu".

— Cipinang, 1 Oktober 2000

 

Gott ist tot

Posted by ~alof in ,

(tifa)

Tuhan sudah mati
ketika dalam nama-Nya
kita bunuh satu demi satu
orang-orang yang juga Dia cintai.

— Cipinang, 30 September 2000

 

Ikrar

Posted by ~alof in ,

Perjuangan kita bukanlah satu kemegahan
atau titi keniscayaan
melainkan hanya mencoba memberi arti
bagi setiap tetes darah
menitik dari luka yang terpahat
di atas nisan jiwa-jiwa merdeka.

— Cipinang, 30 September 2000

 

Mana mungkin

Posted by ~alof in ,

Kauambillah gulanya,

sisakan buatku manisnya.

Kauambillah penarinya,

tapi berikan padaku tariannya.

— 2 Agustus 2000

 

Takut

Posted by ~alof in ,

Tikamlah aku
hingga esok tiada kutakuti lagi maut.

— 3 Agustus 2000

 

# sambung rasa

# gurat kiwari