Uber alles

Posted by ~alof in ,

Mari kita hitung
berapa debit fluida dalam pipa ini.
Dan seandainya fluida itu adalah minyak bumi
yang kita hisap dari bumi negeri ini,
kira-kira, berapa piring nasi dan potong tempe yang dapat kita sediakan
bagi para jembel yang selalu lapar?
Barangkali cuma satu desa kecil.
Atau, kalau kita agak cermat,
barangkali dapat kita cukupkan untuk sebuah trophy
bagi kemeriahan di sirkuit kebanggaan.
Toh bangsa kita belum begitu pandai mengemudikan mobil
apalagi model terbaru formula-1.
Mereka cuma kenal umbi-umbian dan nyamuk rawa
dan belum tahu wanginya bensin
apalagi licinnya uang.

Coba kita hitung
berapa volume gelondongan ini.
Dan kalau gelondongan itu adalah kayu ulin
yang kita tebang dari belantara negeri ini,
kira-kira, berapa potong baju dan kain sarung yang dapat kita sediakan
bagi para jembel yang selalu kedinginan?
Barangkali cuma satu kampung kecil.
Atau, kalau kita agak hemat,
barangkali dapat kita cukupkan untuk selembar saham
bagi bisnis cengkeh atau pesawat terbang.
Toh bangsa kita belum begitu pandai bertransaksi
apalagi memahami kolusi konglomerasi.
Mereka cuma kenal totem dan tifa
dan belum tahu canggihnya negosiasi
apalagi ketajaman peluru.

Mari kita kaji
berapa liter darah dan kilo tulang tercecer,
yang belum sempat kita periksa
semenjak teknologi dan kekuasaan menjadi dewa
atas minyak dan kayu,
atas orang-orang terperdaya yang dulu memilih jadi warga negara republik ini,
atas hasrat dan kenajisan yang dilemparkan ke muka mereka,
atas kitab-kitab mulia dan rumah ibadat yang terkoyak di Dili dan Haurkoneng,
atas keadilan dan hak asasi yang dipreteli dari Sum Kuning dan Marsinah,
atas tonggak-tonggak sejarah yang diperkosa blok tinta hitam?

Coba kita kaji
berapa tetes keringat dan airmata
yang pernah kita alirkan
sebagai tanda bahwa kita dan mereka sebangsa
dan mau mengecap keprihatinan mereka
sebagai tanggung jawab hidup bernegara?

Atas nama stabilitas keamanan dan kesinambungan pembangunan,
mari kita berhenti menghitung dan mengkaji.
Lagipula, toh kita tidak datang ke tempat ini
untuk membicarakan mereka.
Permisi.

— R.Mangun, 11 Desember 1993

Uber alles adalah slogan superioritas ras Arya berkulit putih yang berada di atas segalanya. Seruan yang dikumandangkan oleh kaum NAZI ini digunakan oleh Himpunan Mahasiswa Mesin Institut Teknologi Bandung (HMM ITB) dalam masa pekan orientasi mahasiswa baru.

 

Langit malam memandang muram.
Bintang berpendar satu-dua.
Angin menjalar pelan-pelan
menerobos sela dinding kardus rumah-rumah pinggir kali.
Kali pekat.
Tanpa riak.
Membenam.

Seorang perempuan dalam rumah kardus
mendekap bayinya erat ke dada

: bayi kurus yang tidak pernah mengerti
kenapa harus selalu membawa lapar dalam mimpi.

Dalam sepetak ruang rumah kardus
hanya kekosongan merata.
Tidak ada apa-apa untuk dilihat.
Dan terlalu gelap untuk meyakini
ada tetes airmata
dan isak tertahan
yang enggan mengusik diamnya malam.

Perempuan kurus di rumah kardus,
yang letih tadahkan tangan sepanjang jalan terik,
karena tidak ada yang sempat peduli
pada seorang perempuan kumal menggendong bayi.
Sedang bayi itu sama sekali tidak bisa paham
bahwa tetek ibunya tak lagi bersusu.

Letih badan, letih kaki
tak setajam letih rasa
yang mencakar-cakar dalam jiwa

: bahwa sebentuk kehidupan
telah dia seret ke hari-hari tanpa kepastian.

Tidak satu pun bisa dia janjikan
tentang kini atau esok.
Bahkan tak ada keberanian
untuk sekedar mengisahkan harapan-harapan
ataupun penyesalan.
Hanya terik keseharian yang bisa dia beri
dalam perjalanan antara fajar dan petang
saat kekerasan dan ketegaran tak lagi terbedakan.
Menggapai-gapai raihan remang.
Dari hari ke hari.
Setiap hari.

Bukan kehendaknya, bukan takdirnya,
menjadi lindasan kereta jaman
yang bayinya jadi titisan korban.

Langit malam merenung suram.
Bintang berselimut kabut kelabu.
Angin mati sejak tadi.
Kali makin beku.
Hitam.

Dalam sepetak ruang rumah kardus
seorang perempuan tidak lagi peduli
apakah Tuhan sempat melihat bayinya
yang kehausan
menjilati sisa airmata bundanya.

— R.Mangun, 11 Desember 1993

 

Lima kawan penghabisan

Posted by ~alof in ,

Langit mendung.
Awan menggantung.
Lima lelaki bersepakat
menggotong keranda lintasi kota.
Perjalanan masih panjang.
Bagi mereka tiada lagi persinggahan
guna membilas bilur membasuh luka.
Bahkan pandang tidak lagi punya makna.
Keletihan tidak lagi mengganggu
karena sudah jadi satu dalam butir-butir darah.
Tak lagi merah.

— R.Mangun, 11 Desember 1993

 

Langit tertawa

Posted by ~alof in ,

(pedagogy of the oppressed)

Saat gerimis sore hari
gelepar tanya timbul-tenggelam dalam jiwa:

"Apa guna pendidikan
jika hanya membuat kita semakin bodoh
untuk mengakrabi kenyataan?"

Di sekolah, kita tidak diajar mengerti,
apalagi merasa,
bagaimana menyikapi hari demi hari
yang kerap begitu lekat dengan perut kosong
atau dengan hembusan dingin di bokong tak berbaju.

Di laboratorium, kita tidak pernah menemukan
bagaimana rumus paling jitu
menyulap kata jadi benda
saat bicara tentang kesetiakawanan
atau menentang pemiskinan.

Pernahkah kita luangkan waktu
hanya untuk coba menerka
makna ritmik tetes hujan seperti sore ini?
Mungkin bisa kita temukan
lagu kejenakaan sorga
yang menonton manusia-manusia terhuyung condong
terseok ditimpa jalannya sendiri.

Bukanlah satu pilihan
mengusung ilmu pengetahuan sebagai berhala
yang menafikan kebersamaan,
atau keranda penuh ornamen
sebagai kerangkeng kebebasan
yang tinggal slogan dan angan-angan.
Kita terlalu sering khilaf
menjadikannya sebagai alas kaki
atau serbet penyeka mulut.

Maukah kita menginsafi
bahwa sesungguhnya tiada yang baru
dan tiada keajaiban yang ditawarkan
dari setumpuk buku tebal.
Cuma kertas dan tinta
yang menjadi tanda
baru sedemikian kemampuan kita
memahami kaidah alam
yang terjadi tanpa campur tangan manusia.
Semua cuma secuil penggamblangan
dari satu sistem yang kita coba telusuri.
Namun, jika akhirnya kita justru lepas
dan melupakan hakikat,
kita tak lebih dari sekedar badut-badut dunia artifisial
yang patut ditertawakan dari atas sana.

Rintik gerimis sore hari
seperti mengisyaratkan retorika
dalam ritmik ironis:

"Apa guna pendidikan
jika hanya membuat kalian semakin mengenaskan
kala mencoba memahami guna pendidikan?".

— R.Mangun, 11 Desember 1993

Pedagogy of the Oppressed adalah judul buku karya Paulo Freire yang menjadi perintis metode pendidikan bagi masyarakat kelas bawah di Brazil dan Chili. Di kemudian hari, metode penyadaran (conscientization) yang menekankan pendidikan sebagai suatu pembebasan dari ketertindasan ini dikenal sebagai pendidikan bagi kaum tertindas.

 

Amnesia

Posted by ~alof in ,

Ada kata dalam gelas
yang lumer saat isinya ditenggak habis
hingga kita tidak tahu bagaimana melafalkannya.

— R.Mangun, 11 Desember 1993

 

Pencarian pagi

Posted by ~alof in ,

Aku akan berangkat.
Besok.
Pagi-pagi benar,

ketika perempuan-perempuan tua dan lelaki-lelaki renta
terseok menjunjung bakul di kepala,
terbungkuk menggendong buntalan di punggung,
terhuyung memikul pikulan di pundak
terhimpit dalam jejal bus pasar dekil berbau lumpur;
ketika bocah-bocah kumal
berlari kecil di perempatan jalan,
mengacungkan koran,
menadahkan tangan,
memainkan kaleng rombeng,
atau menggosok kaca mobil yang lewat;
ketika sopir-sopir tua
berpeluh menghela oplet reot,
berkelit di jalan sempit,
terguncang-guncang dalam lubang becek,
diserapahi pejalan kaki dan pengemudi kendaraan lain;
sementara tuan-tuan makmur
masih nyenyak dalam mimpi telanjang
berbantal dada montok istri bahenol,
atau baru beranjak dari ranjang motel
setelah bergulat sepanjang malam
dalam desah dan himpit gumpalan daging hangat-mulus;
sementara nyonya-nyonya gemuk
masih tergolek di ranjang empuk
atau baru membersihkan masker muka,
atau baru menyusun jadwal salon — butik — arisan — senam,
atau menelpon rekan sejawat dharma wanita.

Aku harus berangkat.
Besok.
Pagi-pagi benar,

ketika buruh-buruh pabrik
beriringan mengayuh sepeda
menyusur jalan tanah berbatu penuh debu,
menghirup udara-sisa berpolusi;
ketika pegawai-pegawai berbaju korpri
dengan map lusuh di ketiak
berlari di antara asap hitam kota,
berdesakan dalam bus-kota yang selalu berkejaran;
ketika pengamen-pengamen jalan
mencari ruang antar manusia,
dengan gitar yang selalu sumbang
mencoba melafalkan lagu yang sering diputar di radio;
sementara anak-anak sekolah
berjaket kulit berdandan metal,
menggenggam batu atau belati
demi perjumpaan yang terencana maupun tidak;
sementara eksekutif-eksekutif muda
mematut dasi pada kilap BMW model terbarunya,
sibuk terbahak dengan telepon genggam,
atau menghitung-hitung batas kartu-kreditnya;
sementara wanita-wanita muda
membenahi rok mini dan gincu
dan berharap mendapat ajakan makan malam
di cafe atau club atau pub paling baru.

Perempuan-perempuan tua dan lelaki-lelaki renta di pasar tidak pernah bertanya
kenapa mereka tidak pernah punya kesempatan
berleha-leha di kursi goyang
atau sekedar menghitung sisa-sisa umur.

Bocah-bocah kumal di perempatan jalan tidak pernah bertanya
kenapa mereka tidak pernah punya kesempatan
bermain pasir dan kotak warna-warni
atau sekedar memiliki buku dan seragam.

Sopir-sopir tua di jalan sempit tidak pernah bertanya
kenapa mereka tidak pernah punya kesempatan
mengagumi kemulusan sirkuit sepi
atau sekedar melintasi jalan tanpa lubang tanpa becek.

Buruh-buruh pabrik bersepeda tidak pernah bertanya
kenapa mereka tidak pernah punya kesempatan
bercengkerama dengan burung-burung pagi
atau sekedar memandangi sisa ladang yang pernah mereka garap.

Pegawai-pegawai dalam asap hitam bus-kota tidak pernah bertanya
kenapa mereka tidak pernah punya kesempatan
mendapat kredit rumah-sangat-sederhana
atau sekedar menikmati giliran kendaraan dinas.

Pengamen-pengamen jalanan bersuara sumbang tidak pernah bertanya
kenapa mereka tidak pernah punya kesempatan
menikmati lagu mereka sendiri,
atau sekedar didengarkan.

Aku akan berangkat.
Besok.
Pagi-pagi benar.

Dengan sederet pertanyaan
yang kucoba cari jawabnya pada seribu wajah mereka.
Barangkali saja aku bisa mengerti
apa yang sudah mereka peroleh
dari 48 tahun hidup bernegara.

— R.Mangun, 9 Desember 1993

 

Requiem 1993

Posted by ~alof in ,

(melayat Ganeça 10 *)

Pilar-pilar ini masih seperti dulu.
Bulat. Kokoh. Tegak.
Dan arca gajah itu masih di situ.
Aus. Kusam. Berlumut.

Langit muram tegak mengangkang
menginjak matahari di punggungnya.
Burung-burung selatan beriringan lewat.
Seperti tidak peduli
kesesakan dalam tabung-tabung awan gelap.

Entah sudah berapa ribu manusia lewat
memasuki dunia dan sistem
yang terbangun sejak 60 tahun silam.

Entah sudah berapa banyak catatan sejarah diguratkan
pada setiap jengkal tanah di sini
yang kini terlindas beton dan aspal.

Entah sudah berapa banyak tokoh singgah
mengumbar kata dan slogan
pada telinga-telinga muda penuh kagum.

Entah sudah berapa orang berlalu
dengan toga megah
mengempit ijasah beraksara emas.

Ada suara menguak di belukar
seperti jerit manusia terjerat
yang hanya bisa lenguhkan desah putus asa.
Suara dari belukar,
suara dalam jerat,
seperti selintasan jalur cahaya.
Lurus.
Tidak berpendar dalam bias prisma,
menerobos panjang,
jauh melesat di antara bebatuan,
dan menggema ke seluruh lembah.
Gaung tak berbalas.

Aku kenal tempat ini,
sebanyak engkau mengenalinya.
Namun, kenapa aku merasa asing
dengan wajah-wajah di sini?
Bahkan aku juga tidak lagi mengenali kamu.
Tidak juga orang-orang ternama negeri
yang pernah tercatat dalam buku besar tempat ini
dengan sederet gelar dan penghormatan.

Beberapa pemberani tampil ke muka
dengan tanda tanya besar di dada.
Namun tangan-tangan mereka menggapai sia-sia
karena tak ada raihan nyata.
Semua kosong. Semu.
Sebab mereka tak mampu mengawasi punggung mereka sendiri
yang terbelenggu rantai kekuasaan
dan panji-panji idiom.
Kemudian,
pisau berkilat yang menghunjam
entah siapa yang memegang.
Mungkin bapak,
mungkin teman bapak,
atau pesuruh bapak.

Beberapa pemberani tersungkur
dengan tanda tanya semakin besar di mata terkatup
dan suara teredam.
Terkapar.
Sementara yang tertinggal
tidak lagi punya nyali untuk terus menjaga
agar tahan dalam lingkaran
dan lidah tidak berliur pengkhianatan.

Apakah sistem yang dipatok di sini
telah begitu jauh mengambil jarak dari kenyataan
dan menggulirkan satu demi satu manusianya
terlalu cepat bagi harapan anak-anak negeri
yang menitipkan penantian pada putra-putri terpilih
merangkul mereka naik
menembus garis batas perbedaan?

Wangi kesturi telah lama sirna.
Pucuk-pucuk cemara tak seriang dulu.
Beringin tua yang dulu kokoh
kini hanya menyisakan bonsai kerdil.
Dan angin yang lewat di sela jemari pinus meranggas
membawakan sepilihan lagu penghujung tahun
dalam nada-nada berat menggelisahkan.

Di tempat ini, suatu masa,
pernah dititipkan putra-putri terbaik bangsa
untuk menempa dinding-dinding kemanusiaan
agar mata tidak buta akan kemiskinan,
agar telinga tidak tuli akan penderitaan,
agar mulut tidak bisu akan ketidakadilan,
agar tangan tidak lumpuh akan ketiadaan kerja,
agar hati tidak mati akan ketidakberdayaan,
agar jiwa tidak padam akan penindasan.
Tapi yang kusaksikan kini
hanya seonggok kertas penuh dalil dan rumus
serta perhitungan laba-rugi
atau tarikan pena kejumawaan
akan kekuasaan atas nasib manusia muda yang pasrah.

Wajah-wajah tidak lagi bermata,
tidak lagi bertelinga,
tidak lagi bermulut.
Tubuh-tubuh tidak lagi bertangan,
tidak lagi berhati,
tidak lagi berjiwa.
Hanya segumpal daging - sebongkah tulang - sececeran darah,
yang terlalu sigap berlari
menyongsong peluang-peluang yang tersisa
dari derak roda-retak pembangunan.

Ada tiang bendera terpancang di plaza muka
tanpa secarik bendera berkibar.
Seekor burung nasar bertengger di puncaknya
dengan matanya yang tajam.
Mencari-cari.
Seperti ada yang dinanti,
yang cukup berharga bagi waktu.

Dari tempat ini, konon,
pernah diikrarkan janji-janji kesetiaan
demi para pewaris sah negeri ini.
Janji yang pernah dibela dengan taruhan darah dan drop-out
agar tetap terjaga utuh
dalam setiap relung sukma putra-putri pilihan bangsa.
Tapi yang kusaksikan kini
hanyalah serumpun tunas birokrat dan kuli
yang sering tidak mengerti
mengapa mereka ada di sini,
untuk apa mereka ada di sini,
bagaimana mereka ada di sini.
Bahkan begitu banyak yang tidak tahu
siapa diri mereka sendiri,
dari mana mereka datang,
dan bagaimana selayaknya berdiri.

Seekor kadal melintas rerumputan.
Cepat.
Dengan sibakan yang sama sekali tidak berarti.
Hanya menyisakan sejejak bekas di pasir lunak
yang lantas lenyap
pada injakan sepatu pertama yang lalu.
Tidak ada kadal.
Tidak ada apa-apa.
Tak sesuatu pun.

Tempat ini hanya jadi gua perlindungan
mempersenjatai diri dengan ilmu tanpa logika
dan mengusung nama almamater sebagai tameng
dalam perkelahian antar mereka
menuju meja instansi atau lorong-lorong industri.
Bertahun-tahun lamanya mereka merawat mimpi-mimpi
untuk mendapat imbalan atas jerih payah menghapal.
Dan berharap rumus-rumus klasik tidak akan pernah dikoreksi
walau konstanta ketidakpastiannya tak berhingga.

Tempat ini hanya jadi sarang persembunyian
bagi para resi cendekia
di balik makalah-makalah ilmiah berjudul bombastis
tentang hal-hal yang terlalu gaib
bagi berjuta orang yang hanya bisa menghitung hari-hari sesuap nasi,
bagi ratusan ribu orang yang tidak mampu membeli pendidikan,
bagi ribuan orang yang tidak sempat memiliki impian apa-apa,
bagi puluhan orang yang sedang menanti letusan peluru terakhir.
Mereka tidak sanggup lagi mencerna
kata-kata yang akrab bagi kesahajaan
karena mereka sudah terlalu lama ingkar
untuk mempelajari hal-hal sederhana
tentang hidup dan berkehidupan
yang tidak membutuhkan seremoni,
atau kata-kata yang tidak pernah melapangkan kesesakan,
atau angka-angka yang tidak pernah meredakan kekecewaan.

Tempat ini hanya jadi menara angker
dengan roh-roh tanpa makna
yang bergentayangan dalam dimensinya sendiri
seperti garis paralel panjang tanpa ujung
yang tidak pernah berhampiran dengan kenyataan,
yang dari situ mereka merampok
dan melecehkan kisah-kisah yang pernah dituturkan para leluhur
tentang rumah besar berhalaman luas
dimana mereka dapat bercengkerama dengan anak-cucu
yang menjadi alasan mengapa mereka dahulu sedia mati.

Lorong yang panjang.
Gelap. Dingin. Bisu.
Tidak ada sisa langkah di lantai marmer.
Bersih. Licin. Mengkilap.
Yang bahkan cukup bagus untuk dijadikan cermin.
Namun tidak ada yang sempat,
karena lorong ini terlalu lengang
bahkan untuk segaris graffiti sepi
yang sekian banyak menggurat luka
di kisi-kisi mati-rasa.

Di tempat ini, kini,
pilar-pilar masih seperti dulu.
Luka. Dendam. Angkuh.
Dan arca gajah itu masih di situ.
Kecewa. Terhina. Menangis.

— R.Mangun, 9 Desember 1993

* Ganeça 10 adalah alamat kampus Institut Teknologi Bandung (ITB).

 

erika

Posted by ~alof in

Setelahnya

Aku dan kamu
bertemu.
Aku dan kamu
berlalu.

— L.Earth, 26 Desember 1992


Wednesday blue

Have you ever been lonely before?
Like somebody has stolen the wheels of your car
and you didn't know where to go.
Crying wouldn't help at all.

You only waste your time
to think all about her,
since you are not in her mind anymore. No more.

Nobody will pick up your phone call.
Just ringing in the cold of the night.
Nobody's home.
Then, why should you run after her? ...

— Pasar Minggu, 21 April 1993


Satu pagi setelah satu malam bersama Erika

Pagi datang tanpa kokok ayam
hanya sinar matahari yang menerobos tirai
lurus-lurus memotong ruang kamar.
Aku masih belum bisa terpejam
sejak tengah malam
setelah kita lewatkan jam-jam yang padat
dalam pembicaraan panjang,
sedang hujan bertabur di luar
seperti jarum tajam merajam rumputan.

Ketika berbincang tentang kita,
ada denyar dalam dada.
Dan pijar di mata kamu
seperti senandung tak berkesudahan.

Memandangi kamu,
aku selalu terpana
dan mengeluh:

"Mustinya tidak harus begini yang harus kita jalani.
Seakan dunia tidak setuju
dan mencoba ingkari kenyataan
bahwa antara kita bukannya tidak ada apa-apa
yang seharusnya bisa jadi pertimbangan yang adil
tentang dua anak manusia
yang mencoba menghayati makna satu citra
yang terlalu sering dikotak-kotakkan.
Padahal,
mampukah orang membentengi dua hati
yang tidak lagi perlu kiasan
untuk saling mengerti mencapai satu bahasa
yang hanya bagi kita bertiga:
Aku - kamu - Tuhan kita?".

Aku mengeluh,
karena aku dan kamu terantai waktu manusia
yang membuat kita harus berperang
dan penjarakan Tuhan dalam huruf-huruf,
bahkan memenggalnya lebih dari satu.

— Pertamina Jakarta, 19 Agustus 1993


Kesepakatan antara aku dan kamu dan mereka

Kita bisa mengandaikan
ada kesepakatan antara kita,
yang menerobos dinding ruang,
memutus rantai waktu,
hingga kita bisa bicara tanpa kata
dengan bahasa yang hanya untuk kita.

(... Itu yang aku mau.)
(... Itu yang kamu mau.)

Tapi kita harus jujur akui
bahwa kita pun harus bersepakat dengan orang lain
yang biasanya sepakat untuk tidak sepakat,
hingga kita selalu terjerembab di tempat yang sama,
terhempas ke kegelapan yang sama,
termangu ke kedukaan yang sama,
dari waktu ke waktu.
Dan aku bertanya pada kamu:

"Apakah kita tetap pada kesepakatan kita
atau harus membuat yang baru
agar orang dapat lebih ramah pada kita?".

Mungkin akan lebih baik
andai tidak pernah diperlukan satu kesepakatan
antara aku dan kamu dan mereka
hingga tidak perlu lagi ada yang terluka.

— Pertamina Jakarta, 19 Agustus 1993


Dua tahun lalu, Erika

Langit belum lagi rekah.
Aku bersijingkat kuakkan tirai jendela.
Angin mendesau di luar
kirim cerita dari balik kaca.
Dingin yang merembes dinding-dinding kota
tajam merasuk
menusuk dalam keluh.
Guguran embun meresap dalam hirup napas.
Tak kutampak seorang pun lalu.
Mungkin terlalu enggan
berdekap-dekap dengan kabut jalanan.

Kurapatkan jaket.
Begitu dingin kurasa
walau keempat dinding tegak
membenteng antara aku dan dunia.
Di ranjang, Erika masih tinggal dalam dena.
Berselubung selimut tebal.
Seperti bayi tanpa gundah.
Matanya terpejam
berpeluk akrab dengan mimpinya.
Ada yang ingin kutanyakan kemudian:

"Apakah yang hadir dalam relung bawah sadarnya
ketika kukecup bibirnya?".

Namun tidak pernah tercuat,
karena senyumnya dalam tidur bikin aku terpaku
pada satu titik jauh pandangan mata:
satu harapan sia-sia.

Begitu pun cukuplah.

— R.Mangun, 17 September 1993


Kita berpisah 15 Desember 1990

Ada yang tertinggal di sini
saat kamu kemasi semua:
sepotong sisi hari
yang kini selalu kubawa-bawa
sebagai ganti sekerat perasaan
yang kamu bawa pergi.
Entah kenapa kita tidak bisa bicara
utarakan cerita yang membekas dalam benak dan jiwa
hanya untuk sekedar ungkapkan
bahwa antara aku dan kamu
bukannya tidak ada apa-apa,
walau memang tak mungkin
kita berbuat apa-apa
terhadap dunia yang enggan mengaku.

— R.Mangun, 17 September 1993


Pertuturan malam

Malam penuh misteri
erat lekat di pori-pori.
Tajam. Dingin. Pekat.

(Lelaki muda yang resah masih terjaga.
Bertempur melawan penaklukan dari dalam.
Masih ada yang harus dilakukan
untuk mengakrabi sepi yang panjang
sementara fajar masih jauh,
sedang jam yang merambat pelan baru saja lewat puncaknya.
Meski tak ada yang pasti untuk dinanti,
bukan berarti tidak ada yang cukup berharga
untuk dihirup detik demi detik
dalam ruang yang terlalu dingin untuk hasrat-hasrat terpendam
dan harapan samar-samar.

Telpon yang berdering
jauh lebih mendebarkan
ketimbang bayang membias di kaca jendela.
Dan dia sudah pasti
siapa yang bakal bicara di ujung sana
pada saat-saat seperti itu.)

— Hallo.
Saya kangen bicara.
Saya perlu bicara.

Ini entah sudah malam ke berapa.
Hampir setiap malam.
Dan seperti biasa,
kata-kata berjejal tanpa sua muka.
Berjam-jam.

Perempuan muda yang resah
selalu tidak paham atas perjalanannya sendiri
yang panjang dan asing.
Gerah Jakarta yang diakrabi lama
tak mampu memberi janji tentang kini dan esok.
Beku Tulsa yang menggigit sekian tahun
tidak mampu redakan geram pencarian diri dan batas-batas aktualisasi.

— Saya punya beberapa karib.
Di Jakarta. Juga Tulsa.
Tapi saya tak pernah mampu utarakan
apa yang selalu datang diam-diam
ketika sendiri di kamar
dan memandang mata di cermin.
Kenapa saya tidak bisa
membuat mata saya dusta
agar kamu tidak selalu tanya "Mengapa?".

Saya lelah untuk terus mengalah
menatap mata kamu yang menerobos
yang membuat saya merasa bersalah
karena mencoba ingkari apa adanya saya.

Ada satu hal yang selalu mengganggu
bahwa perempuan muda itu tidak tertawa dengan jiwanya.
Matanya selalu meronta untuk bicara.
Namun terlalu banyak orang tidak paham
tentang saat-saat berbenah
dan sebentuk topangan peneguh.
Mereka selalu tidak punya cukup waktu dan kesabaran
untuk sekedar mendengar bisikan samar yang terbawa.
Tidak karibnya di Jakarta. Atau di Tulsa.

— Apa yang kamu lihat
dari bayang remang tak tertembus
pada garis tangan saya yang pernah kamu baca?

Kamu tahu jauh lebih banyak
ketimbang mereka di Jakarta atau Tulsa.
Entah kenapa saya jadi terlalu jujur dan polos
tentang hal yang tak seorang pun pernah dapat mengeja tuntas,
apalagi jeritan-jeritan di dalam.

Belum genap dua purnama sejak perjumpaan pertama.
Perempuan muda itu tidak bisa mungkir
tentang kesendirian yang sangat
dan hasrat untuk lebih tegar menatap matanya di cermin,
dan mencari nilai-nilai berarti buat perjalanan berikutnya.

Kegamangan yang selalu hadir bagi satu kepastian
membuatnya tak pernah bisa menyikapi
antara pilihannya sendiri
atau kepastian yang dibingkaikan baginya.
Dia cuma seorang perempuan muda tanpa bantah
walau harus kehilangan impian-impian.
Luka demi luka ditimbunnya sendiri
dalam ruang perasaannya yang kecil
yang makin lama makin sesak.

— Saya tidak tahu seberapa jauh kamu tahu tentang saya.
Mungkin malah terlalu banyak.
Tapi, saya kira, kamu cukup mengerti
saya tidak sanggup berkata 'tidak'
dan terlalu sering tidak mengerti
kenapa harus selalu terpojok
pada putusan yang sudah ditetapkan.

Saya punya kabar bagus.
Kini saya cukup berani menahan jemari goreskan pena
tuntaskan surat penghabisan
buat seorang lelaki muda di Tulsa.
Walau masih harus dengan tangis
yang entah untuk apa.
Ada yang menggigit ngilu di dalam
namun tidak lagi meresahkan.

Saya tidak tahu bagaimana kamu bisa mengerti.

Perempuan muda yang rapuh dalam ragu
tak pernah bisa janjikan
mampu bersikap sebagai pemilik hari-harinya sendiri.
Sedang banyak saat menentukan telah menjelang
dimana dia harus jalan sendiri
menapak titi keberanian bertaruh
atas diri dan pada dirinya.
Banyak suara dan penampakan yang akan ditemui,
banyak tanda dan dinding yang akan dihadapi,
dan dia hanya dapat bertanya pada relung jiwanya
lewat mata dalam cermin
tentang jalan yang harus dirambahnya.

— Saya kenal kamu seperti sudah bertahun-tahun.
Ada sesuatu pada kamu
yang kuakkan kenang pada seseorang,
yang pernah lama tinggal dalam bilik jantung saya.
Sampai sekarang.

(Lelaki muda itu hanya menyimpan tawa.
Dia berani bertaruh,
suatu ketika nanti,
perempuan itu tak lagi akan mengenalnya sebagaimana kini.
Karena dia cuma seorang lelaki biasa
yang singgah sesaat
sekedar untuk mengerti
tentang sinar mata yang selalu meronta
untuk bicara dan dipahami.)

Malam penuh misteri
erat lekat di pori-pori.
Pedih. Beku. Sesak.

— R.Mangun, 8 Desember 1993

 

# sambung rasa

# gurat kiwari