Requiem 1993

Posted by ~alof in ,

(melayat Ganeça 10 *)

Pilar-pilar ini masih seperti dulu.
Bulat. Kokoh. Tegak.
Dan arca gajah itu masih di situ.
Aus. Kusam. Berlumut.

Langit muram tegak mengangkang
menginjak matahari di punggungnya.
Burung-burung selatan beriringan lewat.
Seperti tidak peduli
kesesakan dalam tabung-tabung awan gelap.

Entah sudah berapa ribu manusia lewat
memasuki dunia dan sistem
yang terbangun sejak 60 tahun silam.

Entah sudah berapa banyak catatan sejarah diguratkan
pada setiap jengkal tanah di sini
yang kini terlindas beton dan aspal.

Entah sudah berapa banyak tokoh singgah
mengumbar kata dan slogan
pada telinga-telinga muda penuh kagum.

Entah sudah berapa orang berlalu
dengan toga megah
mengempit ijasah beraksara emas.

Ada suara menguak di belukar
seperti jerit manusia terjerat
yang hanya bisa lenguhkan desah putus asa.
Suara dari belukar,
suara dalam jerat,
seperti selintasan jalur cahaya.
Lurus.
Tidak berpendar dalam bias prisma,
menerobos panjang,
jauh melesat di antara bebatuan,
dan menggema ke seluruh lembah.
Gaung tak berbalas.

Aku kenal tempat ini,
sebanyak engkau mengenalinya.
Namun, kenapa aku merasa asing
dengan wajah-wajah di sini?
Bahkan aku juga tidak lagi mengenali kamu.
Tidak juga orang-orang ternama negeri
yang pernah tercatat dalam buku besar tempat ini
dengan sederet gelar dan penghormatan.

Beberapa pemberani tampil ke muka
dengan tanda tanya besar di dada.
Namun tangan-tangan mereka menggapai sia-sia
karena tak ada raihan nyata.
Semua kosong. Semu.
Sebab mereka tak mampu mengawasi punggung mereka sendiri
yang terbelenggu rantai kekuasaan
dan panji-panji idiom.
Kemudian,
pisau berkilat yang menghunjam
entah siapa yang memegang.
Mungkin bapak,
mungkin teman bapak,
atau pesuruh bapak.

Beberapa pemberani tersungkur
dengan tanda tanya semakin besar di mata terkatup
dan suara teredam.
Terkapar.
Sementara yang tertinggal
tidak lagi punya nyali untuk terus menjaga
agar tahan dalam lingkaran
dan lidah tidak berliur pengkhianatan.

Apakah sistem yang dipatok di sini
telah begitu jauh mengambil jarak dari kenyataan
dan menggulirkan satu demi satu manusianya
terlalu cepat bagi harapan anak-anak negeri
yang menitipkan penantian pada putra-putri terpilih
merangkul mereka naik
menembus garis batas perbedaan?

Wangi kesturi telah lama sirna.
Pucuk-pucuk cemara tak seriang dulu.
Beringin tua yang dulu kokoh
kini hanya menyisakan bonsai kerdil.
Dan angin yang lewat di sela jemari pinus meranggas
membawakan sepilihan lagu penghujung tahun
dalam nada-nada berat menggelisahkan.

Di tempat ini, suatu masa,
pernah dititipkan putra-putri terbaik bangsa
untuk menempa dinding-dinding kemanusiaan
agar mata tidak buta akan kemiskinan,
agar telinga tidak tuli akan penderitaan,
agar mulut tidak bisu akan ketidakadilan,
agar tangan tidak lumpuh akan ketiadaan kerja,
agar hati tidak mati akan ketidakberdayaan,
agar jiwa tidak padam akan penindasan.
Tapi yang kusaksikan kini
hanya seonggok kertas penuh dalil dan rumus
serta perhitungan laba-rugi
atau tarikan pena kejumawaan
akan kekuasaan atas nasib manusia muda yang pasrah.

Wajah-wajah tidak lagi bermata,
tidak lagi bertelinga,
tidak lagi bermulut.
Tubuh-tubuh tidak lagi bertangan,
tidak lagi berhati,
tidak lagi berjiwa.
Hanya segumpal daging - sebongkah tulang - sececeran darah,
yang terlalu sigap berlari
menyongsong peluang-peluang yang tersisa
dari derak roda-retak pembangunan.

Ada tiang bendera terpancang di plaza muka
tanpa secarik bendera berkibar.
Seekor burung nasar bertengger di puncaknya
dengan matanya yang tajam.
Mencari-cari.
Seperti ada yang dinanti,
yang cukup berharga bagi waktu.

Dari tempat ini, konon,
pernah diikrarkan janji-janji kesetiaan
demi para pewaris sah negeri ini.
Janji yang pernah dibela dengan taruhan darah dan drop-out
agar tetap terjaga utuh
dalam setiap relung sukma putra-putri pilihan bangsa.
Tapi yang kusaksikan kini
hanyalah serumpun tunas birokrat dan kuli
yang sering tidak mengerti
mengapa mereka ada di sini,
untuk apa mereka ada di sini,
bagaimana mereka ada di sini.
Bahkan begitu banyak yang tidak tahu
siapa diri mereka sendiri,
dari mana mereka datang,
dan bagaimana selayaknya berdiri.

Seekor kadal melintas rerumputan.
Cepat.
Dengan sibakan yang sama sekali tidak berarti.
Hanya menyisakan sejejak bekas di pasir lunak
yang lantas lenyap
pada injakan sepatu pertama yang lalu.
Tidak ada kadal.
Tidak ada apa-apa.
Tak sesuatu pun.

Tempat ini hanya jadi gua perlindungan
mempersenjatai diri dengan ilmu tanpa logika
dan mengusung nama almamater sebagai tameng
dalam perkelahian antar mereka
menuju meja instansi atau lorong-lorong industri.
Bertahun-tahun lamanya mereka merawat mimpi-mimpi
untuk mendapat imbalan atas jerih payah menghapal.
Dan berharap rumus-rumus klasik tidak akan pernah dikoreksi
walau konstanta ketidakpastiannya tak berhingga.

Tempat ini hanya jadi sarang persembunyian
bagi para resi cendekia
di balik makalah-makalah ilmiah berjudul bombastis
tentang hal-hal yang terlalu gaib
bagi berjuta orang yang hanya bisa menghitung hari-hari sesuap nasi,
bagi ratusan ribu orang yang tidak mampu membeli pendidikan,
bagi ribuan orang yang tidak sempat memiliki impian apa-apa,
bagi puluhan orang yang sedang menanti letusan peluru terakhir.
Mereka tidak sanggup lagi mencerna
kata-kata yang akrab bagi kesahajaan
karena mereka sudah terlalu lama ingkar
untuk mempelajari hal-hal sederhana
tentang hidup dan berkehidupan
yang tidak membutuhkan seremoni,
atau kata-kata yang tidak pernah melapangkan kesesakan,
atau angka-angka yang tidak pernah meredakan kekecewaan.

Tempat ini hanya jadi menara angker
dengan roh-roh tanpa makna
yang bergentayangan dalam dimensinya sendiri
seperti garis paralel panjang tanpa ujung
yang tidak pernah berhampiran dengan kenyataan,
yang dari situ mereka merampok
dan melecehkan kisah-kisah yang pernah dituturkan para leluhur
tentang rumah besar berhalaman luas
dimana mereka dapat bercengkerama dengan anak-cucu
yang menjadi alasan mengapa mereka dahulu sedia mati.

Lorong yang panjang.
Gelap. Dingin. Bisu.
Tidak ada sisa langkah di lantai marmer.
Bersih. Licin. Mengkilap.
Yang bahkan cukup bagus untuk dijadikan cermin.
Namun tidak ada yang sempat,
karena lorong ini terlalu lengang
bahkan untuk segaris graffiti sepi
yang sekian banyak menggurat luka
di kisi-kisi mati-rasa.

Di tempat ini, kini,
pilar-pilar masih seperti dulu.
Luka. Dendam. Angkuh.
Dan arca gajah itu masih di situ.
Kecewa. Terhina. Menangis.

— R.Mangun, 9 Desember 1993

* Ganeça 10 adalah alamat kampus Institut Teknologi Bandung (ITB).

 
This entry was posted on Thursday, December 09, 1993 at 00:00 and is filed under , . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Post a Comment

# sambung rasa

# gurat kiwari