Mereka bertiga yang tersisa dalam malam

Posted by ~alof in ,

Langit malam memandang muram.
Bintang berpendar satu-dua.
Angin menjalar pelan-pelan
menerobos sela dinding kardus rumah-rumah pinggir kali.
Kali pekat.
Tanpa riak.
Membenam.

Seorang perempuan dalam rumah kardus
mendekap bayinya erat ke dada

: bayi kurus yang tidak pernah mengerti
kenapa harus selalu membawa lapar dalam mimpi.

Dalam sepetak ruang rumah kardus
hanya kekosongan merata.
Tidak ada apa-apa untuk dilihat.
Dan terlalu gelap untuk meyakini
ada tetes airmata
dan isak tertahan
yang enggan mengusik diamnya malam.

Perempuan kurus di rumah kardus,
yang letih tadahkan tangan sepanjang jalan terik,
karena tidak ada yang sempat peduli
pada seorang perempuan kumal menggendong bayi.
Sedang bayi itu sama sekali tidak bisa paham
bahwa tetek ibunya tak lagi bersusu.

Letih badan, letih kaki
tak setajam letih rasa
yang mencakar-cakar dalam jiwa

: bahwa sebentuk kehidupan
telah dia seret ke hari-hari tanpa kepastian.

Tidak satu pun bisa dia janjikan
tentang kini atau esok.
Bahkan tak ada keberanian
untuk sekedar mengisahkan harapan-harapan
ataupun penyesalan.
Hanya terik keseharian yang bisa dia beri
dalam perjalanan antara fajar dan petang
saat kekerasan dan ketegaran tak lagi terbedakan.
Menggapai-gapai raihan remang.
Dari hari ke hari.
Setiap hari.

Bukan kehendaknya, bukan takdirnya,
menjadi lindasan kereta jaman
yang bayinya jadi titisan korban.

Langit malam merenung suram.
Bintang berselimut kabut kelabu.
Angin mati sejak tadi.
Kali makin beku.
Hitam.

Dalam sepetak ruang rumah kardus
seorang perempuan tidak lagi peduli
apakah Tuhan sempat melihat bayinya
yang kehausan
menjilati sisa airmata bundanya.

— R.Mangun, 11 Desember 1993

 
This entry was posted on Saturday, December 11, 1993 at 00:00 and is filed under , . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Post a Comment

# sambung rasa

# gurat kiwari