Hyde Park 1973

Posted by ~alof in ,

Di bawah bayang-bayang pohon gundul
aku berjalan sendirian
meniti kesepianku.

Di antara luruhan daun-daun mati yang kuning
mataku berkisar-kisar ke taman kota.

Seorang lelaki tua asik sendiri
dengan koran sore dan hotdognya.
Seorang ibu yang tampaknya bijak
menuntun anaknya berjalan pelan
sambil bercerita
dan menjawab semua tanya anaknya.
Segerombol anak-anak menendang-nendang bola
yang bergulir kesana-kemari.
Dan ada seorang wanita muda yang manis
dengan anjing pudelnya yang angkuh.

Lalu,
kenapa ada seraut wajah di kolam,
ketika kutengok ke dasarnya,
yang begitu kusut dan muramnya?
Ah, wajah itu,
yang kubenci,
yang selalu menghantui
meski telah sejak lama kutinggalkan di selokan.

Dan, byurr ...
wajah itu pecah berkeping-keping
ketika sebuah bola jatuh di kolam.

Mukaku kuyup.

— 25 Maret 1983

 

cindy

Posted by ~alof in

Cerita tentang surat dari C.A.

Sungguh!
Kartu biru muda itu
yang kau kirim padaku di hari lalu
masih kusimpan rapi dalam hati
setelah kubaca isinya
dan kucari makna dari sebaris kata yang sulit buat dilupa
yang memintaku datang besok sore,
bersama menyongsong usia delapanbelasmu.

Kartu yang kau kirim itu
membawa wajahmu,
mata sendumu,
dan senyummu samar.
Lantas,
"Adakah kartu itu membawa cintamu buatku?"
desahku dalam hati
penuh tanya penuh harap
dan tanpa berkeputusan.
Hingga kini.
Sungguh!

— L.Earth, 25 Desember 1979


Stanza cinta kedua

Saat melangkah sendiri mendaki bukit sepi di sini
aku merasa hati terhentak keras.
Detaknya mengetuk dan meremas jiwaku
yang selama ini kututup rapat.
Manakala kutoleh kesenyapan bukit di kejauhan
yang menggores gejolak dalam dada
aku makin terhempas dalam derak rindu
seperti yang tergambar di gerai rambutnya.

Tanganku mengawang
mencoba menggapai langit kehampaan.
Namun gelepar lama di dalam membludak pecah
mengalir pelan menggenangi sukmaku yang beku
lewat getar-getar kasmaran.
Kian membakar rongga dada.
Ah, Cupido,
kenapa kau titipkan luka itu
dalam sinar mata yang menatapku?

— Mt. Lake, 30 Januari 1980


A letter for dear Cindy

Jasad dan alam bukanlah perintang hati
karena aku cuma mau bilang:
aku cinta padamu.

— L.Earth, 28 Maret 1980


Balada rembulan dan matahari

(pertanyaanku buat Cindy)

Matahari turun lagi merobek bumi,
untuk tidak peduli pada manusia-manusia
yang terbungkuk menyusur lorong dan jalan-jalan.
Dia selalu tak mau tahu
akan larat-larat hari-hari,
yang masih terus mengais hidup,
yang masih mendesah satu-satu.
Dan hati mereka direnggutkan sedikit demi sedikit.

Burung-burung menguak duka
dan mematuk-matuk.
Kelaparan.

Matahari terus mengusik,
meninggi ke puncak kenyataan.
Bongkahan-bongkahan nasib digelandangnya geram
lalu dijungkirkannya derita
yang selalu menguntit
dari remang pagi sampai rembang petang,
dari sehari ke sehari
tanpa putus.
Namun entah kenapa
mereka begitu lekat.
Berpeluh.

Dan kadang nelangsa yang dalam menyapa.
Juga kebosanan.
Hingga mereka musti memanggul beban yang makin sarat
dengan tubuh kian terbungkuk.
Mereka seperti cinta pada peluhnya,
pada keluhnya.

Burung-burung menguak sepi
dan mematuk-matuk.
Merana.

Kaki-kaki manusia begitu teguh menopang
dari musim ke musim.
Namun ketika badai kelam menjebak rumpun-rumpun padinya dalam pusaran rubuh
mereka terdiam,
terhenyak dalam ketidakpercayaan,
merenungi diri yang payah dan selalu resah.

Burung-burung mengoyak duka
dan mematuk-matuk.
Sedih.

Manusia-manusia yang selalu sendiri,
jadi bingung.
Tak tahu arah.
Mereka musti merangkak di antara gigi sepi di kegelapan
dan tersandung-sandung kecemasan yang muncul dari dalam tanah
dalam malam.

Kelelawar hitam menerobos sunyi.
Hinggap pelan-pelan.
Diam.

Dalam sepi kau melenggang sendiri
meniti jembatan kesenyapan dirimu
menyeberangi dukamu.
Di bawah redup malam bergayut bulan
kau terus melangkah
tanpa peduli tatap padamu sendu.
(Betapa sepinya kali ini, kurasa.)
Kau tidak tahu
ada tatap pandang hampa.
Kau lenyap dalam kegelapan.
Terus. Terus.

Aku termangu.
Aku bertanya
: Itukah perempuan yang tega berpaling muka?
Namun kau tidak akan pernah peduli
akan tanya yang mengusar dalam detak jantung
karena kau tidak mendengar
suara tersedak dalam kerongkongan
di satu pelabuhan lama.

Kelelawar hitam menerobos kelam.
Hinggap pelan-pelan.
Hatinya luka.

Cahaya lampu jalanan menguak kebuntuan
bahwa sejak lama aku begitu asing bagimu.
Ada jarak mengangkang lebar antara kita.
Dan harus kuakui
selama ini aku masih belum mampu memahami kenyataanmu
yang tidak mungkin kugenggam dalam jemari.

Pernah kucoba membunuh harga diri yang kokoh bertahan
namun akhirnya aku menyerah
pada nurani bertaburan darah.
Aku bukan batu cadas.
Di dalam, tidak ada dinding karang dan terali besi
untuk melupakan perjalanan kita.
Namun kau tidak pernah mendengar
bisik lirih di malam paling hening.

Kelelawar hitam menerobos dingin.
Hinggap pelan-pelan.
Jiwanya menggigil.

Rembulan di jendela
bikin jiwa makin terkoyak parah.
Rembulan yang manis kirim salam buatku
tapi tidak ada secarik wajahmu di wajahnya.
"Kau telah pergi"
kata jiwaku sangsi.

Kelelawar hitam menerobos diriku.
Hinggap pelan-pelan.
Hatinya merintih.

Kau tahu,
ada sejumput keniscayaan yang kau simpan.
Dan kau pun tahu,
tidak ada pelita warna-warni dalam cerita-cerita masa laluku,
dengan segenap rasa buatNya.

Begitu lama baru aku sadar,
selama ini aku berjalan dalam gulita
bila bersisian denganmu,
karena aku jadi tinggal dalam bubungan khayal.

Aku tidak punya apa-apa buat dipertaruhkan.
Yang ada padaku hanya keberanian
untuk mengawali membuka halaman pertama
dan kesetiaan merangkaikannya tanpa bunga-bunga.
Hanya itu. Tak lebih. Cuma itu.

Adakah kau dengar gemeretak tulang tualangku
yang berkisah tentang peri kehidupanku?
Namun yang kudapat cuma deraan pahit
bahwa aku teramat jauh
di bawah awan-awan yang senantiasa penuh rona kegelapan
yang memancarkan percikan suram,
sementara kau sembunyi di balik keangkuhan dingin
di atas.
Betapa jauhnya...

Kelelawar hitam menerobos angan-angan.
Hinggap pelan-pelan.
Tidur.

Aku tahu,
matahari pun tahu,
tak pernah kemurnian singgah
bahkan untuk sekedar menyapa.
Hanya sebentuk letup pendaman rasa dari hasrat.
Cuma itu.
Tapi aku masih terus bertanya
kenapa musti padaku
yang jelas tidak cukup berarti?

Kelelawar hitam menerobos angin.
Hinggap pelan-pelan.
Letih.

"Matahari!",
kuberseru dengan seluruh tubuh gemetar
menahankan gelombang membadai di dalam,
"Bagaimana bisa kau mencinta rembulan
ketika sang waktu memisah?
Kau dipacak dalam benderang
sedang rembulan dijerat kelam.
Bagaimana bisa?".

"Rembulan...", bisikku,
"Dalam kebosananmu bersendiri,
pernahkah kau rundukkan muka berpaling wajah?".

Aku tahu,
kadang mereka juga tak mampu menentang kerinduan menyesak,
memaksa bersekutu dalam gerhana.
Sekejap.
Namun membakar. Membara.

Kelelawar hitam menerobos pagi.
Hinggap pelan-pelan.
Kaku.

Kau yang pernah tersirat dalam temali angan,
kenapa lari?
Seperti yang dituliskannya
bahwa rembulan dan matahari tinggal berdampingan,
terasa dekat dan lekat di sisi kefanaan
namun tetap jauh.
Jauh! Jauh! Jauh!
Begitu juga aku dan kau,
dekat serengkuh tangan
jauh setakterbatas hati.
Tak terpandang satu sama lain.
Dan saat semuanya tak berbalut keberanian bersetia,
tak ada yang akan terlahir dari sukma,
tak ada yang akan tercipta dari nurani.
Kita sama tahu perkara itu,
hingga tak guna berpanjang lagi.
Semuanya memang musti begitu.

Kelelawar hitam menerobos hari.
Hinggap pelan-pelan.
Mati.

Semuanya memang musti begitu:
lahir,
lalu bertemu,
kemudian bercinta,
lantas berpisah,
sesudah itu mati.
Ya, semuanya memang musti begitu.

— L.Earth, 13 Juni 1980


Stanza di tepi laut

Karang hitam dijilat air
dan pesisir lembab
selalu jadi lara memagut ganas.
Bersama duka di percik ombak
menghempasku kuat
ke lumpur kesendirianku yang sepi
karena cintaku luruh sudah di tepi laut ini.

Gontai kususuri pantai berbusa
mencari tempat dulu kita bercumbu.
Namun tangan-tangan angin dan ombak telah menyaput semua
memupus semua kenang menghitam di bola mata
karena telah kau renggutkan harapanku.

Kutinggalkan pantai
bersama tertinggalnya sekeping hati dan kenang.

— 2 September 1980


Senandung cemburu

(surat perpisahan yang kutulis buat Cindy pada satu sore yang sial)

Mustinya aku tak usah datang kemari sore ini
lantaran langit sudah agak hitam sembunyikan matahari hari ini
(burung pun tak nampak satu juga).
Salju putih terus turun menebal di jalan
membuatku makin payah berjalan.
Tapi aku sudah janji buat datang
mendengarkan permainan pianomu pada satu lagu barumu
dan untuk menghirup sedikit cognac
bersama
di ruang tengah rumahmu yang hangat
dengan perdiangan yang berkilau,
sementara telinga kita digelitik nada-nada kontemporer
dari kaset art-rock yang kubeli siang tadi,
dan lampu yang temaram bukan alasan untuk mencairkan kerinduan
pada satu kecupan cuma.
Lalu kita akan berbincang-bincang dengan akrab tentang hari ini.

Sambil berjalan, anganku menyublim
hingga kurasa ada yang menggelepar di dalam,
meloncat-loncat ke ujung jalan
berpacu dengan bayang-bayangku sendiri.
: Ah, betapa nikmat denting piano di jemari tanganmu,
betapa manis song for you yang diracik dalam cognac.
Dan dapat kubayangkan
betapa sangat hangat dan lembutnya bibirmu rekah,
betapa renyah tawamu yang selalu kurindu.
Khayalku seperti sudah kureguk dalam sesaat tadi.

(Astaga!
aku hampir tergelincir masuk lubang.)

Namun, apa kata willow di muka rumahmu?
ketika akal hampa dan pandang jenuh.
Bukan fatamorgana salju
yang terbayang pada jendela:
kamu dan seseorang dengan mata hangat
sehangat perdiangan di ruang tengah.
Dadaku kempis.
Kepul napasku turun.
(Kulihat sehelai daun willow melayang.
Luruh.)

Aku tak tahu siapa.
Bahkan aku tak punya tanya kenapa.
Namun setumpuk angan di jalan
sudah kucampakkan bersama gumpal bola salju.
Tak ada art-rock setelah terinjak di bawah telapak sepatu.
Hanya bayang-bayang.

Kurasa tak guna berlama-lama di sini.
Dingin di luar dan dingin di dalam
yang membuat lidah makin sepat.

Sambil melangkah tanpa perasaan
kudendangkan lagu baruku.
Tanpa perasaan.
Memang,
seharusnya aku tak usah datang kemari sore ini.

— 14 Mei 1981


Macapat luka

(pernyataanku buat Cindy yang pernah membuatku memalingkan pandang)

Dapatkah kau bayangkan
bagaimana seharusnya selembar perasaan
ketika kau bilang bahwa kau sudah berhenti berjalan.
(Sedang kau tahu
bahwa aku tak pernah bilang cinta padamu.
Tak pernah.)

Di dalam di sini
aku bilang: aku memang suka kamu.
Seperti ada yang membuatku tertambat
membuatku terkesima
memandang kedamaian di wajahmu.
Aku bilang,
aku pernah menyimpan sesuatu pada bayangmu.
Namun, ingat, aku tak pernah mencintaimu. Dan tak akan pernah.
Karena jalan yang kau pilih berbeda dengan jalan keharusanku,
bahkan bertentangan,
lantaran aku terlalu bersahaja
untuk bersisian denganmu yang membawa kebiruan hari
yang tersembunyi di baik keanggunan dan keangkuhan yang tak bisa kupahami.

— 16 Mei 1981


Kidung patah hati

Berjalan aku di antara timbunan larat usang
mencari sesuatu yang pernah hilang dari diri.
Namun napas yang memburu dan tubuh yang penat
seakan kian menahan langkah.
Hai, aku mulai berpikir:
"Begitu perlunyakah aku mencarimu lagi?".

— 10 September 1981


Lagu buat Gadis

Jika aku bilang
"Aku cinta padamu",
apa jawabmu?
Masakan kamu cuma akan tersipu-sipu lagi
dengan senyum malumu yang samar?

Lalu,
jika aku tanya
"Maukah kamu jadi ibu anak-anakku?",
apakah yang akan jadi jawabmu?
Masakan kamu hanya akan melengos
dengan pipi memerah
sambil desiskan lirih:
"Ih...".

Ah, gadis,
apa lagi yang dapat kubilang?
Kamu nyata-nyata sudah hilang,
bukan lagi milikku.
Lantaran begitu banyak orang menentang:
Bundamu,
dan lembar gurat aksaramu.

— 4 Maret 1983


Lagu buat Jaka

Jika bukan karena Bunda,
tak akan aku terhadir di sini.
Jika bukan karena firman,
tak akan sukmaku berwujud.

Jaka, cintaku,
bukan aku tak mau
andai kamu ajak aku pergi.
Bukannya aku enggan
bila kamu ajak aku meniti jembatan tujuh warna
dengan aliran darah di bawahnya.
Tak ada aku sangsi akan kamu,
tak pernah aku ragu kesungguhanmu.
Bahkan aku sudah terlalu hapal akan jiwamu.
Tapi, Jaka,
aku tetap seorang perempuan
yang tidak kuasa menentang sorot mata lelaki yang kupanggil Bapak.
Aku tidak tega melihat airmata Bunda.
Aku tidak bisa berontak pada sampaian Nabiku.

Jaka,
ragaku bukan lagi milikmu,
jiwaku kuasaNya.
Cintaku putih buatmu satu.

— 4 Maret 1983

 

# sambung rasa

# gurat kiwari