averill

Posted by ~alof in

Last song for Inez

Kubawa pergi sekerat hati ini
yang sebagian telah tanggal
karena tak mampu kuhalau
sebagian perasaan yang memanggil-manggil namamu.
Dan kala kubakar nostalgi,
namamu terukir dalam api.
Tak padam hingga fajar.
Namun tak lagi kusua wajahmu
walau kucoba mencari
hingga debu yang penghabisan.

— Duri, 7 September 1992 01:30 WIB


Aku dan Inez

Ada yang tetap tidak kupahami:
tentang kasih yang sanggup pisahkan dua rasa,
tentang hati batu yang kuasa tiadakan satu kasih.

— L.Earth, 25 Desember 1992


Monolog sia-sia

Alof muda bicara pada dirinya
tentang kata dan rasa
yang terkungkung dogma tanpa makna:

— Dimana manusia harus berdiri
ketika garis lurus membentang panjang
tak putus ditelan usia dan keniscayaan,
membelah jiwa-jiwa yang pernah saling sapa
tentang hakikat hidup dan cita-cita?

Alof muda bicara pada dinding diam
tentang kini dan masa datang
yang terbungkus nuansa tanpa warna:

— Kemana manusia harus pergi
saat jendela telah dirapatkan
menangkis pulsa-pulsa suara
yang tidak lagi punya daya
untuk sekedar berbisik
tentang kesendirian dan Inez muda?

— L.Earth, 25 Desember 1992


Malam yang kembali dari masa lalu

Malam sangat panjang untuk disusuri
sementara langkah teramat berat terbeban.
Ada yang terbenam di jalan
di antara jejak masa lampau
yang terus menapak sampai fajar.

— L.Earth, 26 Desember 1992 00:40 WIB


Aku berharap menjumpai kamu di sini

Di sini orang-orang berhenti.
Tak lagi bicara. Tak lagi berbuat.
Di sini aku mulai mencari
sebongkah rasa yang sudah mati. Barangkali.
Tidak ada yang pasti...

— L.Earth, 26 Desember 1992 00:45 WIB


Confuse

"Aku dan kamu,
tetap di sini
menunggu sesuatu yang kita tidak tahu:

Entah apa,
yang sanggup meniadakan
sesuatu yang memisahkan kita:
Entah apa."

Ada yang tetap harus dicari.
Ada yang tetap hilang:
Entah apa.

— L.Earth, 26 Desember 1992 00:55 WIB


Menyerah

Seharusnya tidak ada yang masih tersisa
antara kini dan esok
karena telah kita putuskan
untuk menutup pagar
dan memetik semua kembang kertas di halaman,
lalu menyisi dari kejaran masa
yang selalu tidak bisa dipahami.

— L.Earth, 26 Desember 1992 00:50 WIB


Saat tuntas

Aku ingin berlari.
Tidak berhenti sampai nanti.
Aku hanya ingin berlari
dari kesia-siaan mencari
sisa-sisa pengharapan tentang pagi.

— L.Earth, 26 Desember 1992


Selalu datang

Ada mimpi yang tak kunjung terendapkan
saat bayang-bayang jingga hadir
memenuhi nanar kornea mata,
ketika guratan biru legam berpendar
merayapi denyut nadi darah.
Mimpi tentang kamu.

— Jakarta, 10 Maret 1993


Serenada pagi hari

Pagi.
Datang lagi.
Aku bertanya dalam hati:

"Kemana mencari? Kenapa pergi?"
Aku berkata tanpa janji
bersua lagi
di satu pagi.

— Pertamina Jakarta, 19 Agustus 1993


Status quo

Janganlah pernah mengatakan
bahwa semua sudah selesai
ketika antara kita tak ada lagi kata yang sama
sehingga tidak ada lagi cerita.
Tapi, pernahkah kamu bercermin
dan tidak menemukan aku di bola matamu?

— Pertamina Jakarta, 19 Agustus 1993


Ada yang tertinggal di sini

Ada yang tertinggal di sini
ketika semua orang sudah berlalu
dan melupakan apa yang pernah terjadi,
yang semuanya pernah punya arti

... walau menyakitkan.

Ada yang tertinggal di sini
ketika aku tiba.

— Pertamina Jakarta, 19 Agustus 1993


Kita berdua

Adakah kita seharusnya bicara
tentang perjalanan kita
di dua lorong berbeda
yang tidak pernah berhampiran?
Ataukah seharusnya kita coba
koyakkan selembar dinding transparan
yang begitu tipis,
namun penuh dengan tanya
hingga tak seorang pun berani menatap sisi lainnya?

Namun, perlu kutahu sebelumnya,
adakah kita memang ingin
melangkah bersama
bersisian?

— Pertamina Jakarta, 7 September 1993


Perjumpaan 24 Desember 1990

Kenapa harus kamu sertai
hari-hari panjang perjalananku
sekian lama
jika pada akhirnya harus undur
terbelenggu kelam masa lalu?
Tidakkah kamu paham
betapa dalam lubang yang telah kita gali
hingga tak mungkin ditimbun
oleh waktu yang teramat singkat?

— R.Mangun, 17 September 1993


Confession

Kubuat pengakuan ini
atas nama kesejatian yang kumiliki
bahwa begitu sukar kuguratkan namamu
pada selembar jiwaku
dan begitu sukar kuhapuskan
apa yang kamu sisakan buatku.

— R.Mangun, 17 September 1993


Desperately seeking you

Aku tak lagi mampu berlari
karena tak lagi punya hari
yang tersisa untuk mencari arti
titi hari di antara jemari.
Meski dada dan jiwa penuh gejolak,
hempasan tanya menerpa tak habis:

"Dimana perjalanan panjang ini berujung?"
karena tidak satu pun bayang bermakna
dari sekian nuansa kelopak mata.
Metamorfosa. Fatamorgana.

Bisa jadi aku terjerat labyrinth.
Entah ujung. Entah pangkal.
Dalam noktah jingga
tidak ada suatu tersisa.

"Inez, Inez,
aku nyaris putus asa
dalam cahaya matamu".

— Jakarta, 17 September 1993


Aku tak bisa ingkar

Dalam dunia yang begini kusam
kurasa aku tak bisa berlaku kejam
untuk tega berkata:

"Pergilah, pergi "

pada suatu masa
yang pernah kamu racik dengan nuansa.
Karena aku tak berani
meniadakan keberadaanmu
di dalam sini.

— R.Mangun, 18 September 1993


Antara kata, antara kita

Begitu ingin kujabarkan kamu
dalam untaian kata
jadi satu sonata panjang
yang tak akan usai dituturkan
dari satu jaman ke jaman penghabisan.
Tapi kenapa aku kehilangan aksara
yang cukup layak
bahkan hanya untuk menuliskan namamu
dan keterikatan yang ada
antara aku dan kamu?

Sebenarnya aku ingin berkisah
tentang kamu,
dengan kamu,
walau tak ada kata yang tersisa.

— Jakarta, 9 Nopember 1993


Yang pernah mencinta

(pada Inez)

Apa yang pernah terlintas dalam kata
yang kamu ujar
saat gerimis sore hari
tentang kejujuran hati?

Kita duduk berdua
sambil menghirup kopi
yang asapnya mengambang ke langit-langit kamar.
Saat-saat aku tidak ingin bicara
kita tidak perlu kata-kata
karena aku dan kamu
telah begitu mengerti
bagaimana memahami kehendak.
Saat-saat kamu hanya ingin berdiam
kita sepakat untuk merasai bersama
bagaimana mata berbincang
pada senja,
pada hati.
Dan titik hujan di luar
bukanlah seteru waktu
ketika aku dan kamu pejamkan mata
agar tangis tak terbaca.

— R.Mangun, 13 Juli 1994


Ketika ingat

Banyak surat dalam amplop
yang tidak jadi aku kirimkan.
Entah berapa banyak kata jadi percuma
hanya sekedar tuangkan gelisah
yang selama ini selalu menampar
dalam sepi selewat tengah malam.

Padamu aku pernah berkata
bahwa kita hanya lintasan waktu
yang tidak pernah dipedulikan
entah jatuh entah patah.
Karena kita tidak punya apa-apa
buat dijadikan jaminan.
Bahkan percakapan panjang
yang selalu kita lakukan sekerap malam
hanya jadi pembunuh sepi.
Dan ketika waktu berlalu,
tidak ada yang tersisa antara kita.

Ada bulan terpancang
menjinjing awan lewat pelan-pelan.

Seperti malam-malam sebelumnya,
aku sendiri menuliskan kata
ke atas kertas yang tidak pernah terkirimkan.

Entah kenapa
aku merasa kesepian sangat.

— R.Mangun, 23 Juli 1994


Aku bertanya

Sering aku ingin
bertanya padamu:
— Bagaimana sesungguhnya kamu
saat berkata "Datanglah datang..."
dan untuk kemudian aku merasa
bahwa aku tidak sendirian?

Apakah pada saat itu
kamu berada pada lintasan yang sama
seperti aku pada kamu?
Ataukah kita cuma mencari peran
dalam lakon sisipan
hingga kini seperti lupa
bahwa kamu tidak lagi memanggili namaku
sedang aku masih tetap aku yang dulu?

Katakanlah padaku.
Ataukah kita sama-sama pendusta yang arif?

— L.Beauty, 24 Pebruari 1995 00:50 WIB

 

# sambung rasa

# gurat kiwari