erika

Posted by ~alof in

Setelahnya

Aku dan kamu
bertemu.
Aku dan kamu
berlalu.

— L.Earth, 26 Desember 1992


Wednesday blue

Have you ever been lonely before?
Like somebody has stolen the wheels of your car
and you didn't know where to go.
Crying wouldn't help at all.

You only waste your time
to think all about her,
since you are not in her mind anymore. No more.

Nobody will pick up your phone call.
Just ringing in the cold of the night.
Nobody's home.
Then, why should you run after her? ...

— Pasar Minggu, 21 April 1993


Satu pagi setelah satu malam bersama Erika

Pagi datang tanpa kokok ayam
hanya sinar matahari yang menerobos tirai
lurus-lurus memotong ruang kamar.
Aku masih belum bisa terpejam
sejak tengah malam
setelah kita lewatkan jam-jam yang padat
dalam pembicaraan panjang,
sedang hujan bertabur di luar
seperti jarum tajam merajam rumputan.

Ketika berbincang tentang kita,
ada denyar dalam dada.
Dan pijar di mata kamu
seperti senandung tak berkesudahan.

Memandangi kamu,
aku selalu terpana
dan mengeluh:

"Mustinya tidak harus begini yang harus kita jalani.
Seakan dunia tidak setuju
dan mencoba ingkari kenyataan
bahwa antara kita bukannya tidak ada apa-apa
yang seharusnya bisa jadi pertimbangan yang adil
tentang dua anak manusia
yang mencoba menghayati makna satu citra
yang terlalu sering dikotak-kotakkan.
Padahal,
mampukah orang membentengi dua hati
yang tidak lagi perlu kiasan
untuk saling mengerti mencapai satu bahasa
yang hanya bagi kita bertiga:
Aku - kamu - Tuhan kita?".

Aku mengeluh,
karena aku dan kamu terantai waktu manusia
yang membuat kita harus berperang
dan penjarakan Tuhan dalam huruf-huruf,
bahkan memenggalnya lebih dari satu.

— Pertamina Jakarta, 19 Agustus 1993


Kesepakatan antara aku dan kamu dan mereka

Kita bisa mengandaikan
ada kesepakatan antara kita,
yang menerobos dinding ruang,
memutus rantai waktu,
hingga kita bisa bicara tanpa kata
dengan bahasa yang hanya untuk kita.

(... Itu yang aku mau.)
(... Itu yang kamu mau.)

Tapi kita harus jujur akui
bahwa kita pun harus bersepakat dengan orang lain
yang biasanya sepakat untuk tidak sepakat,
hingga kita selalu terjerembab di tempat yang sama,
terhempas ke kegelapan yang sama,
termangu ke kedukaan yang sama,
dari waktu ke waktu.
Dan aku bertanya pada kamu:

"Apakah kita tetap pada kesepakatan kita
atau harus membuat yang baru
agar orang dapat lebih ramah pada kita?".

Mungkin akan lebih baik
andai tidak pernah diperlukan satu kesepakatan
antara aku dan kamu dan mereka
hingga tidak perlu lagi ada yang terluka.

— Pertamina Jakarta, 19 Agustus 1993


Dua tahun lalu, Erika

Langit belum lagi rekah.
Aku bersijingkat kuakkan tirai jendela.
Angin mendesau di luar
kirim cerita dari balik kaca.
Dingin yang merembes dinding-dinding kota
tajam merasuk
menusuk dalam keluh.
Guguran embun meresap dalam hirup napas.
Tak kutampak seorang pun lalu.
Mungkin terlalu enggan
berdekap-dekap dengan kabut jalanan.

Kurapatkan jaket.
Begitu dingin kurasa
walau keempat dinding tegak
membenteng antara aku dan dunia.
Di ranjang, Erika masih tinggal dalam dena.
Berselubung selimut tebal.
Seperti bayi tanpa gundah.
Matanya terpejam
berpeluk akrab dengan mimpinya.
Ada yang ingin kutanyakan kemudian:

"Apakah yang hadir dalam relung bawah sadarnya
ketika kukecup bibirnya?".

Namun tidak pernah tercuat,
karena senyumnya dalam tidur bikin aku terpaku
pada satu titik jauh pandangan mata:
satu harapan sia-sia.

Begitu pun cukuplah.

— R.Mangun, 17 September 1993


Kita berpisah 15 Desember 1990

Ada yang tertinggal di sini
saat kamu kemasi semua:
sepotong sisi hari
yang kini selalu kubawa-bawa
sebagai ganti sekerat perasaan
yang kamu bawa pergi.
Entah kenapa kita tidak bisa bicara
utarakan cerita yang membekas dalam benak dan jiwa
hanya untuk sekedar ungkapkan
bahwa antara aku dan kamu
bukannya tidak ada apa-apa,
walau memang tak mungkin
kita berbuat apa-apa
terhadap dunia yang enggan mengaku.

— R.Mangun, 17 September 1993


Pertuturan malam

Malam penuh misteri
erat lekat di pori-pori.
Tajam. Dingin. Pekat.

(Lelaki muda yang resah masih terjaga.
Bertempur melawan penaklukan dari dalam.
Masih ada yang harus dilakukan
untuk mengakrabi sepi yang panjang
sementara fajar masih jauh,
sedang jam yang merambat pelan baru saja lewat puncaknya.
Meski tak ada yang pasti untuk dinanti,
bukan berarti tidak ada yang cukup berharga
untuk dihirup detik demi detik
dalam ruang yang terlalu dingin untuk hasrat-hasrat terpendam
dan harapan samar-samar.

Telpon yang berdering
jauh lebih mendebarkan
ketimbang bayang membias di kaca jendela.
Dan dia sudah pasti
siapa yang bakal bicara di ujung sana
pada saat-saat seperti itu.)

— Hallo.
Saya kangen bicara.
Saya perlu bicara.

Ini entah sudah malam ke berapa.
Hampir setiap malam.
Dan seperti biasa,
kata-kata berjejal tanpa sua muka.
Berjam-jam.

Perempuan muda yang resah
selalu tidak paham atas perjalanannya sendiri
yang panjang dan asing.
Gerah Jakarta yang diakrabi lama
tak mampu memberi janji tentang kini dan esok.
Beku Tulsa yang menggigit sekian tahun
tidak mampu redakan geram pencarian diri dan batas-batas aktualisasi.

— Saya punya beberapa karib.
Di Jakarta. Juga Tulsa.
Tapi saya tak pernah mampu utarakan
apa yang selalu datang diam-diam
ketika sendiri di kamar
dan memandang mata di cermin.
Kenapa saya tidak bisa
membuat mata saya dusta
agar kamu tidak selalu tanya "Mengapa?".

Saya lelah untuk terus mengalah
menatap mata kamu yang menerobos
yang membuat saya merasa bersalah
karena mencoba ingkari apa adanya saya.

Ada satu hal yang selalu mengganggu
bahwa perempuan muda itu tidak tertawa dengan jiwanya.
Matanya selalu meronta untuk bicara.
Namun terlalu banyak orang tidak paham
tentang saat-saat berbenah
dan sebentuk topangan peneguh.
Mereka selalu tidak punya cukup waktu dan kesabaran
untuk sekedar mendengar bisikan samar yang terbawa.
Tidak karibnya di Jakarta. Atau di Tulsa.

— Apa yang kamu lihat
dari bayang remang tak tertembus
pada garis tangan saya yang pernah kamu baca?

Kamu tahu jauh lebih banyak
ketimbang mereka di Jakarta atau Tulsa.
Entah kenapa saya jadi terlalu jujur dan polos
tentang hal yang tak seorang pun pernah dapat mengeja tuntas,
apalagi jeritan-jeritan di dalam.

Belum genap dua purnama sejak perjumpaan pertama.
Perempuan muda itu tidak bisa mungkir
tentang kesendirian yang sangat
dan hasrat untuk lebih tegar menatap matanya di cermin,
dan mencari nilai-nilai berarti buat perjalanan berikutnya.

Kegamangan yang selalu hadir bagi satu kepastian
membuatnya tak pernah bisa menyikapi
antara pilihannya sendiri
atau kepastian yang dibingkaikan baginya.
Dia cuma seorang perempuan muda tanpa bantah
walau harus kehilangan impian-impian.
Luka demi luka ditimbunnya sendiri
dalam ruang perasaannya yang kecil
yang makin lama makin sesak.

— Saya tidak tahu seberapa jauh kamu tahu tentang saya.
Mungkin malah terlalu banyak.
Tapi, saya kira, kamu cukup mengerti
saya tidak sanggup berkata 'tidak'
dan terlalu sering tidak mengerti
kenapa harus selalu terpojok
pada putusan yang sudah ditetapkan.

Saya punya kabar bagus.
Kini saya cukup berani menahan jemari goreskan pena
tuntaskan surat penghabisan
buat seorang lelaki muda di Tulsa.
Walau masih harus dengan tangis
yang entah untuk apa.
Ada yang menggigit ngilu di dalam
namun tidak lagi meresahkan.

Saya tidak tahu bagaimana kamu bisa mengerti.

Perempuan muda yang rapuh dalam ragu
tak pernah bisa janjikan
mampu bersikap sebagai pemilik hari-harinya sendiri.
Sedang banyak saat menentukan telah menjelang
dimana dia harus jalan sendiri
menapak titi keberanian bertaruh
atas diri dan pada dirinya.
Banyak suara dan penampakan yang akan ditemui,
banyak tanda dan dinding yang akan dihadapi,
dan dia hanya dapat bertanya pada relung jiwanya
lewat mata dalam cermin
tentang jalan yang harus dirambahnya.

— Saya kenal kamu seperti sudah bertahun-tahun.
Ada sesuatu pada kamu
yang kuakkan kenang pada seseorang,
yang pernah lama tinggal dalam bilik jantung saya.
Sampai sekarang.

(Lelaki muda itu hanya menyimpan tawa.
Dia berani bertaruh,
suatu ketika nanti,
perempuan itu tak lagi akan mengenalnya sebagaimana kini.
Karena dia cuma seorang lelaki biasa
yang singgah sesaat
sekedar untuk mengerti
tentang sinar mata yang selalu meronta
untuk bicara dan dipahami.)

Malam penuh misteri
erat lekat di pori-pori.
Pedih. Beku. Sesak.

— R.Mangun, 8 Desember 1993

 
This entry was posted on Wednesday, December 08, 1993 at 00:00 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Post a Comment

# sambung rasa

# gurat kiwari