duschka

Posted by ~alof in

Kala rasa membelenggu, kala rasa memerdekakan

— for Duschka, 20 years after

Aku tidak punya seseorang
yang punya cukup dendam untuk balas dicinta.
Tapi aku tahu seseorang yang punya begitu banyak cinta,
yang bahkan sangat berlimpah jika hanya untuk kata,
dan layak untuk dituturkan.

Inilah kisahnya:

Matahari yang teronggok di ujung sore kali itu sangat bersahabat.
Kehangatannya amat terasa di antara bilur-bilur jingga cakrawala.
Aku dan karibku berjalan bersisian
di keteduhan lorong di utara kota
jumpai perempuan muda yang telah merenggut cahaya mataku
sejak mula bersua dalam satu opera bersahaja.

Lantas, pelan kukatakan pada karibku,
"Aku putuskan untuk mencintainya".
Karibku hanya tertawa
lalu berkata, "Kamu selalu cinta pada setiap perempuan".
"Tapi kali ini berbeda!", protesku.
"Bahkan warna kulitnya pun bukan jenis yang kausuka", desisnya,
yang membuat mulutku kelu.

Perempuan muda itu memang tidak istimewa.
Cuma perempuan biasa. Bahkan terlalu biasa.
Rambut — mata — hidung — bibir
dan dada — pinggul — paha — betis
bukan sesuatu yang bisa dia banggakan
atas takdir keperempuanannya.
Bahkan, karibku benar,
warna kulitnya mahogani
bukanlah pualam yang selalu kupersyaratkan.

Entah bagaimana caranya
perempuan itu membuat aku tega
berkhianat pada semua mitos belahan jiwa
yang telah sekian tahun tertanam dalam utopi,
hingga aku kehilangan segalanya.
Boleh jadi, justru itu yang bikin aku begitu suka kepadanya,
seperti anak bungsu yang kembali pulang.

Sejak sua pertama,
dan perjumpaan-perjumpaan berikutnya,
aku makin tak bisa ingkar
pada gelepar kecil dalam dada
yang selalu membelot terhadap ketidakacuhanku.
Dan dalam kesendirianku,
senantiasa dibisikkannya, "Katakanlah! Nyatakanlah!".
Tapi aku malah jadi lebih sering kehilangan kata
bagi sebuah kepantasan perbincangan
hingga aku selalu menunda
seakan belum punya cukup kesanggupan
melawan satu ketidakpastian.
Karena belum pernah terjadi sebelumnya
aku kehilangan sesuatu yang belum sempat kumiliki.
Dan itu terlalu menggentarkanku.

Barangkali aku terlalu lamban untuk paham
bahwa waktu tidak pernah menanti pelari
dan kesempatan tak akan berpaling dua kali
pada tualang yang tak tuntas,
hingga tidak pernah aku sempat
ketukkan jemari di pintu pilihan.

Perempuan muda itu orang merdeka
yang punya kuasa atas pertaruhannya sendiri
menentukan titi harinya bersama karibku.

Tetapi aku tetap mencintainya
dengan senja merah tanpa airmata.

Semenjak itu,
matahari sore yang sama tidak lagi sama
sebab hati yang sama sudah bermetamorfosis
dari angan ke keniscayaan.
Namun demikian,
tidak ada yang berubah antara aku dan karibku
dan antara aku dengan perempuan muda itu.
Kami tetap seperti semula
walau sama-sama sudah paham
bahwa di antara kami bertiga pernah ada sesuatu
yang harus kami bawa untuk seluruh sisa hari.

Perempuan itu punya rasa
yang kerap membuatnya kecewa dan terluka
pada karibku yang juga berkian kali jadi angkara
atas peristiwa dan prasangka
yang tak jarang bikin larat-larat jingga
merajah kenangan bawah sadar
seperti magma menanti erupsi.
Dan di sanalah aku,
di antara mereka berdua,
seperti layang-layang terjerat angin
terhempas bolak-balik
dan kadang harus sedia tercabik
saat kedua badai bertabrakan.
Namun dengan lancang telah kutahbiskan diriku sendiri
sebagai merpati duta antar mereka
dengan berlembar surat tanpa perangko
yang tidak jarang kubumbui cerita
sekedar penawar gelisah maya.

Seperti tetes air melunakkan cadas.
Bertahun-tahun.
Hanya karena aku mencintainya.

Aku ingat ada satu masa,
sesaat sebelum peluit kereta berbunyi,
karibku berkata kepadaku,
"Aku minta kepadamu sebagai sahabat.
Lakukanlah sesuatu baginya di hari-hari mendatang ini
yang bisa membuatnya tidak terlalu risau
hingga aku kembali".
Dan selama sebelas malam penuh
aku jadi pendengar yang patuh
atau kawan menonton sinema
atau sekedar membincangkan buku-buku lama
sambil menikmati secangkir kopi racikannya
di bawah langit berona bintang
di beranda rumah perempuan muda itu.

Dan sebelas tahun kemudian,
perempuan muda itu berjalan anggun
dalam gaun putih ke altar gereja
dengan cincin belah rotan milik karibku
di jari manisnya.

Kini perempuan muda itu telah menjadi bunda
buat anak-anak dari rahimnya.
Dia juga bunda bagi manusia-manusia malang
yang bukan karena kehendak mereka
terlunta di jalanan dan kerasnya belantara beton kota.

Bagaimana aku tidak cinta
pada perempuan perkasa ini?

Tetapi perempuan itu tetap punya airmata
yang kadang mengkristal
dalam isak di pertuturan senja
atau bisik menjelang fajar,
tentang kerapuhan jiwa
yang berulangkali retak dalam apriori.
Dan seperti belasan tahun silam,
aku harus melekatkannya dengan hati-hati
demi dia dan karibku
dan malaikat-malaikat kecil hidupnya.

Perempuan itu punya cinta
yang tak pupus, tak putus.
Tetapi dia tidak pernah mau berkata
tentang satu rasa yang begitu kuharap pernah ada
dalam dirinya di masa lalu
hingga tidak akan terlalu kusesali
keraguan lamaku yang tersia-sia.
"Aku tidak mau menyesali
apa yang kini harus kuhadapi
sampai mati", katanya.
Namun aku tahu,
selalu dia simpankan buatku sepotong cinta
tanpa kata dan tanpa tanda.
Cuma dalam rasa tak teraba
yang sanggup binarkan bola mata.

Maka, aku sangat percaya,
cinta bukanlah sesuatu untuk diperbincangkan
melainkan suatu rahasia istimewa
tentang kualitas tersembunyi dalam jiwa
yang hanya bermakna
bagi mereka yang sanggup menunaikannya.

(Tulisan ini bukan satu yang terbaik dariku.
Entah kenapa aku selalu gagal
temukan kata-kata paling tepat
setiap kali bertutur tentangnya.

O, my God,
after all these years,
almost twenty years, o my Lord,
I still love her. Even more.
)

— pelataran GKI Kebayoran Baru, Jakarta, 15 Mei 2001


Demikianlah kau

Ketika kau kembali dengan dusta lama
aku cuma bisa berdesah:

"Demikianlah kau adanya
membuta demi dia,
bapak kedua anakmu".

— Cipinang, 1 Oktober 2000

 
This entry was posted on Sunday, October 01, 2000 at 00:00 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Post a Comment

# sambung rasa

# gurat kiwari