Aku akan berangkat.
Besok.
Pagi-pagi benar,
ketika perempuan-perempuan tua dan lelaki-lelaki renta
terseok menjunjung bakul di kepala,
terbungkuk menggendong buntalan di punggung,
terhuyung memikul pikulan di pundak
terhimpit dalam jejal bus pasar dekil berbau lumpur;
ketika bocah-bocah kumal
berlari kecil di perempatan jalan,
mengacungkan koran,
menadahkan tangan,
memainkan kaleng rombeng,
atau menggosok kaca mobil yang lewat;
ketika sopir-sopir tua
berpeluh menghela oplet reot,
berkelit di jalan sempit,
terguncang-guncang dalam lubang becek,
diserapahi pejalan kaki dan pengemudi kendaraan lain;
sementara tuan-tuan makmur
masih nyenyak dalam mimpi telanjang
berbantal dada montok istri bahenol,
atau baru beranjak dari ranjang motel
setelah bergulat sepanjang malam
dalam desah dan himpit gumpalan daging hangat-mulus;
sementara nyonya-nyonya gemuk
masih tergolek di ranjang empuk
atau baru membersihkan masker muka,
atau baru menyusun jadwal salon butik arisan senam,
atau menelpon rekan sejawat dharma wanita.
Aku harus berangkat.
Besok.
Pagi-pagi benar,
ketika buruh-buruh pabrik
beriringan mengayuh sepeda
menyusur jalan tanah berbatu penuh debu,
menghirup udara-sisa berpolusi;
ketika pegawai-pegawai berbaju korpri
dengan map lusuh di ketiak
berlari di antara asap hitam kota,
berdesakan dalam bus-kota yang selalu berkejaran;
ketika pengamen-pengamen jalan
mencari ruang antar manusia,
dengan gitar yang selalu sumbang
mencoba melafalkan lagu yang sering diputar di radio;
sementara anak-anak sekolah
berjaket kulit berdandan metal,
menggenggam batu atau belati
demi perjumpaan yang terencana maupun tidak;
sementara eksekutif-eksekutif muda
mematut dasi pada kilap BMW model terbarunya,
sibuk terbahak dengan telepon genggam,
atau menghitung-hitung batas kartu-kreditnya;
sementara wanita-wanita muda
membenahi rok mini dan gincu
dan berharap mendapat ajakan makan malam
di cafe atau club atau pub paling baru.
Perempuan-perempuan tua dan lelaki-lelaki renta di pasar tidak pernah
bertanya
kenapa mereka tidak pernah punya kesempatan
berleha-leha di kursi goyang
atau sekedar menghitung sisa-sisa umur.
Bocah-bocah kumal di perempatan jalan tidak pernah bertanya
kenapa mereka tidak pernah punya kesempatan
bermain pasir dan kotak warna-warni
atau sekedar memiliki buku dan seragam.
Sopir-sopir tua di jalan sempit tidak pernah bertanya
kenapa mereka tidak pernah punya kesempatan
mengagumi kemulusan sirkuit sepi
atau sekedar melintasi jalan tanpa lubang tanpa becek.
Buruh-buruh pabrik bersepeda tidak pernah bertanya
kenapa mereka tidak pernah punya kesempatan
bercengkerama dengan burung-burung pagi
atau sekedar memandangi sisa ladang yang pernah mereka garap.
Pegawai-pegawai dalam asap hitam bus-kota tidak pernah bertanya
kenapa mereka tidak pernah punya kesempatan
mendapat kredit rumah-sangat-sederhana
atau sekedar menikmati giliran kendaraan dinas.
Pengamen-pengamen jalanan bersuara sumbang tidak pernah bertanya
kenapa mereka tidak pernah punya kesempatan
menikmati lagu mereka sendiri,
atau sekedar didengarkan.
Aku akan berangkat.
Besok.
Pagi-pagi benar.
Dengan sederet pertanyaan
yang kucoba cari jawabnya pada seribu wajah mereka.
Barangkali saja aku bisa mengerti
apa yang sudah mereka peroleh
dari 48 tahun hidup bernegara.
R.Mangun, 9 Desember 1993